Saya berdiri cukup lama, membayangkan raungan senjata, bau mesiu, dan teriakan yang dulu mungkin menggema di tanah ini.
"Yang ini Raden Panji Margono," ujar Mas Agik, menunjuk sosok berpakaian bangsawan Jawa dengan wajah tenang namun tajam. "Beliau tokoh penting dalam perjuangan Lasem. Harusnya dialah yang jadi bupati, tapi sejarah berkata lain... jabatan itu malah jatuh ke tangan sahabatnya, Oey Ing Kiat."
Saya mengangguk. Mata saya kembali ke arah patung Oey Ing Kiat , sosok Muslim Tionghoa yang tampak bersahaja, berdiri sejajar dengan para pejuang lainnya. Komunitas Tionghoa-Jawa lah yang menetapkannya sebagai pemimpin karena keberaniannya dan kesetiakawanannya yang legendaris.
Geger Pecinan: Ledakan dari Lasem
Tak mungkin memahami monumen ini tanpa kembali ke luka awalnya: Geger Pecinan 1740, tragedi genosida yang meletup di Batavia dan menyebar hingga pelosok Jawa. Lasem, sebagai kota pelabuhan yang kosmopolit dan damai, langsung bergolak. Hubungan Tionghoa dan Jawa yang selama ini harmonis---melalui pernikahan, perdagangan, dan kehidupan sehari-hari---mendadak diikat oleh kemarahan bersama.
Ketika berita pembantaian sampai ke Lasem bersamaan dengan arus pengungsi, yang terjadi bukan ketakutan, melainkan perlawanan. Raden Panji Margono dan Oey Ing Kiat, dua sahabat dari dua dunia berbeda, justru bersatu. Mereka menolak tunduk. Tan Kee Wie melengkapi barisan itu dengan kekuatan dan semangatnya. Lasem pun berubah menjadi benteng rakyat.
Beberapa kali, mereka bahkan berhasil mengguncang pos-pos VOC, bahkan mengepung Kartasura---keraton yang semestinya jadi pelindung rakyat. Tapi di sinilah babak kelam dimulai.
Istana yang Diam di Balik Gerbang
Pakubuwono II, sang raja Mataram yang awalnya berpihak kepada gerakan ini akhirnya bersekutu dengan VOC demi mempertahankan kekuasaannya. Keputusan itu menjadi luka dalam sejarah.
Pada 1742 beliau bahkan pernah mengungsi dari istana Kartasura dan akhirnya memindahkan Keraton ke Surakarta. Dan seperti semua kita ketahui, ini adalah awal perpecahan Mataram Islam menyusul Perjanjian Giyanti dan Salatiga.
Saya menatap lama patung Raden Panji Margono, wajahnya damai, tapi seperti menanggung beban. Saya bertanya dalam hati, "Jika saja Kartasura memilih berpihak kepada rakyat... apakah sejarah akan berubah?"