Laskar dari Batavia ini kemudian disambut oleh tokoh-tokoh perlawanan lokal: Tan Sin Ko alias Singseh, Oey Ing Kiat (yang juga dikenal sebagai Raden Tumenggung Widyaningrat, Bupati Lasem), Tan Kee Wie, dan banyak lainnya. Raja Mataram, Pakubuwono II, sempat membentuk aliansi dengan mereka dan memerintahkan serangan terhadap VOC di berbagai wilayah Jawa Tengah dan Timur.
Namun, aliansi itu tidak bertahan lama. Setelah Pakubuwono II turun, Raden Mas Garendi, atau Amangkurat V, mengambil alih dan perang pun mencapai titik paling panas. Para bangsawan seperti Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said, dan Raden Panji Margono ikut turun ke medan laga. Pertempuran ini berakhir pada tahun 1743 dengan kekalahan pihak rakyat, namun perlawanan terus berlanjut secara sporadis, bahkan hingga ke Bali pada tahun 1758.
Monumen ini didirikan oleh Paguyuban Warga Lasem sebagai bentuk penghormatan terhadap para pejuang dari kedua etnis---Jawa dan Tionghoa---yang mengorbankan nyawa demi tanah air.
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya." --- Bung Karno
Tujuh Pejuang, Tiga Penjajah, dan Satu Narasi Perlawanan
Saya melangkah mendekat ke barisan patung berwarna emas yang berdiri gagah, menggambarkan seolah waktu berhenti di tengah dentang senjata dan gemuruh pertempuran.
Di sisi kanan, tujuh tokoh dengan pakaian khas Jawa dan Tionghoa berdiri dalam ekspresi penuh semangat. Ada yang memegang keris, ada yang menghunuskan pedanh atau senjata tradisional, dan ada pulan yang membawa panji-panji pembakar semangat seolah mereka bukan hanya petarung, tetapi juga pemikir perlawanan.
Di kaki masing-masing patung terdapat nama mereka. Mereka bukan sekadar tokoh---mereka adalah simbol dari rakyat kecil yang bangkit, marah, tersakiti, namun tidak tunduk. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah patung Oey Ing Kiat, seorang pemimpin lokal yang dipercaya dan dihormati bukan karena darah bangsawan, tapi karena keberanian dan kesetiaannya pada rekan seperjuangan.
Di dekatnya berdiri Tan Kee Wie, pendekar Tionghoa yang dikenal karena kelihaiannya dalam bertarung. Ia gugur dalam usia muda saat mempertahankan Lasem dalam pertempuran di laut Mandalika tahun 1742. Tak jauh dari mereka tampak sosok Raden Panji Margono, seorang bangsawan Jawa yang menolak diangkat sebagai adipati, meski kiprah dan karismanya tak tertandingi.
Di sisi kiri, tiga patung VOC berdiri dalam seragam kolonial. Salah satunya berlutut sambil menodongkan senapan, yang lain menggenggam bendera VOC. Komposisinya tegas: para pejuang dari sisi kanan menyerbu ke kiri, menggambarkan simbolik perlawanan terhadap kolonialisme yang angkuh dan menindas.