Di sinilah angin semilir mengantarkan cerita dari danau, dari masa lalu, dan dari lidah yang tak hanya kenyang tapi juga paham.
Setelah berjalan kaki menyusuri ruang-ruang tua di Rumah Tegel Lasem, menyentuh papan absen dari tahun 1970-an dan melihat jejak mesin cetak tegel yang kini tak lagi berdenyut, perut kami mulai memberi isyarat yang lebih jelas ketimbang nostalgia: lapar.
Mobil elf pun meluncur ke arah pantai, menuju tempat makan yang disebut-sebut enak dan nyaman: Warung Apung Dusun Dasun.
Terletak persis di sebelah Kantor Kepala Desa Dasun, warung ini hanya berjarak beberapa menit dari jalan utama Lasem. Namun yang membuatnya istimewa bukanlah lokasinya, melainkan suasananya.
Begitu memasuki kawasan warung, jembatan kayu kecil menyambut kami. Di bawahnya, hamparan danau tenang memantulkan cahaya siang. Lorong ini mengantar kami menuju saung-saung lesehan yang berdiri di atas air.
Saung-saung itu mengapung ringan, ditopang pancang dan papan kayu. Tidak luas, tapi cukup nyaman untuk menampung satu keluarga atau rombongan kecil.
Kami duduk lesehan, punggung bersandar ke bilah bambu, kaki diluruskan, mata dimanjakan lanskap air yang tenang. Di kejauhan, seekor bangau berdiri diam seperti patung, seolah tahu ia adalah bagian dari lukisan alam siang itu.
Angin semilir menyusup di sela-sela panas matahari. Di tengah Lasem yang dikenal terik, di sinilah air dan angin bersatu membentuk peneduh alami. Seakan berkata: tenanglah, makan siang ini akan lama, dan tak ada yang tergesa-gesa.
Kami bukan satu-satunya tamu. Di saung sebelah, sekelompok petani tambak sedang makan ramai-ramai. Anak-anak desa sesekali lewat membawa ember kecil.
Tempat ini tak besar, tak mewah, tapi bersih dan terawat. Yang lebih penting: mengandung aura kebersamaan yang langka. Seperti tempat pulang yang tak pernah kita tahu kita rindukan.
Tak jauh dari saung-saung makan, di sudut timur area warung, berdiri sebuah musala kecil yang sederhana tapi bersih. Meski tak mencolok, ia cukup menampung beberapa orang untuk salat berjamaah.
Mukena dan sajadah tersedia, digantung dan dilipat rapi di pojok. Kehadirannya menjadi penanda bahwa tempat ini tidak sekadar memanjakan perut, tapi juga menyediakan ruang untuk jeda yang lebih hening---ruang bagi yang ingin menunduk, berdoa, dan mengingat.
Merico dan Urap Lateh: Lidah Bertemu Tradisi
Tak lama setelah duduk, hidangan pun datang. Paling menonjol adalah semangkuk besar sup ikan berkuah bening yang disebut merico. Ini bukan tom yam Thailand, bukan juga pindang Palembang.
Kuahnya ringan, nyaris bening, namun kaya rasa. Aroma lada hitam dan daun kemangi langsung menyapa hidung. Ikan yang digunakan tampaknya kakap merah, dipotong sedang dan dimasak hati-hati---dagingnya tetap utuh, lembut, dan beraroma laut.
"Merico" dalam bahasa Jawa berarti lada, dan memang sup ini menawarkan tendangan ringan dari lada hitam yang cukup menyengat di ujung tenggorokan.
Pedasnya tidak berlebihan, cukup untuk menghangatkan, bukan menyiksa. Gurihnya berasal dari kaldu kepala ikan, dimasak perlahan dengan serai, daun jeruk, dan tomat. Sederhana, tapi mengejutkan.
Lalu datang ayam goreng kampung, warnanya cokelat tua tanda digoreng dengan minyak kelapa. Dagingnya liat, tidak seperti ayam potong supermarket---dan justru di situlah letak nikmatnya. Makanan ini bukan untuk yang terburu-buru mengunyah.
Yang mencuri perhatian berikutnya adalah urap lateh, campuran sayuran lokal seperti daun kenikir, bayam, dan bunga turi, yang dibumbui kelapa muda parut dengan sambal kluwek. Rasanya kompleks: pahit, pedas, dan manis bercampur jadi satu, membentuk rasa yang jujur dan khas tanah.
Minuman? Sederhana saja. Es teh manis dan es jeruk lokal. Tapi dalam terik Lasem, segelas es teh bisa terasa seperti penemuan besar.
Semua disajikan tanpa basa-basi, tapi penuh keakraban. Pelayanannya cepat, tanggap, dan penuh canda. Rasanya seperti makan di rumah saudara jauh yang baru pertama kali dikunjungi tapi langsung akrab.
Di Meja Kayu Itu, Cerita Pun Mengalir
Sambil menyendok kuah merico, perhatian saya terarah ke nama desa ini---Dasun. Nama yang terdengar unik dan mengundang tanya. Ternyata, ada setidaknya tiga versi cerita mengenai asal-usul nama Dasun yang tersebar di masyarakat:
Versi pertama menyebut bahwa kata "Dasun" berasal dari frasa Jawa "ndas-ndasan dusun", atau "ujung dusun". Lokasi ini dahulu dipercaya sebagai tempat penting produksi kapal-kapal kayu pada masa Majapahit dan Demak.
Kapal-kapal itu dibuat tanpa paku logam, menggunakan jati dan resin, dan bisa bertahan puluhan tahun di lautan. Keahlian maritim ini membuat Dasun strategis sebagai pelabuhan terakhir.
Versi kedua lebih kelam. Nama Dasun dikaitkan dengan cerita "ndas susun-susun"---alias kepala yang bertumpuk. Menurut kisah, pada abad ke-19 desa ini menjadi jalur penyelundupan opium.
Orang-orang yang mengetahui aktivitas itu seringkali dibunuh, hingga muncul istilah menyeramkan tersebut. Ini menunjukkan bagaimana perdagangan gelap turut meninggalkan jejak dalam ingatan kolektif sebuah desa.
Versi ketiga membawa nuansa migrasi. Nama Dasun disebut berasal dari seorang pendatang Tionghoa bernama Dai Sun yang kapalnya terdampar di pantai ini.
Ia menetap, mengelola tambak dan pertanian, lalu diangkat sebagai pemimpin oleh warga. Cerita ini mencerminkan hubungan awal antara komunitas lokal dan pendatang yang membawa keahlian baru.
Semua versi ini---baik yang historis, kelam, maupun legendaris---bercampur menjadi lanskap ingatan kolektif masyarakat Dasun. Sampai sekarang, sisa-sisa masa lalu itu masih bisa dilihat.
Ada bong Belanda, makam tua dari masa kolonial. Ada pula Sumur Omben, yang konon dulunya tempat Sunan Bonang bersuci. Di titik ini, Lasem dan sekitarnya seperti tak hanya menyimpan sejarah, tapi juga cara melihat sejarah: sebagai cerita yang hidup dan tak sepenuhnya selesai.
Dari Lapar Menjadi Paham
Ketika makan hampir selesai dan hanya tersisa tulang-tulang ikan di mangkuk, suasana di saung menjadi sunyi. Tapi itu bukan keheningan hampa, melainkan keheningan yang penuh. Sebagian dari kami memotret, sebagian lain diam saja, membiarkan angin bicara.
Warung Apung Dusun Dasun bukan restoran mewah, bukan tempat viral di media sosial. Tapi ia lebih dari sekadar tempat makan. Ia adalah ruang temu: antara perut dan pikiran, antara masa lalu dan hari ini, antara tubuh yang lapar dan jiwa yang butuh jeda.
Ketika kami meninggalkan tempat itu, tak ada yang berkata banyak. Tapi di wajah beberapa teman saya lihat ekspresi yang sama: puas, tenang, dan seperti menyimpan rahasia kecil.
Bahwa di sebuah desa bernama Dasun, kami pernah duduk di atas air, makan merico, dan sedikit lebih mengerti apa itu rasa yang menyentuh, bukan hanya kenyang yang sebentar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI