Yang membuat saya terpesona adalah betapa dua budaya berbeda---Tiongkok dan Madura---bisa menciptakan bentuk yang begitu mirip tanpa saling meniru secara sadar. Ataukah mereka memang pernah saling bersentuhan?
Sementara Lasem, bagaimanapun, adalah pelabuhan tua tempat para saudagar Tiongkok, Arab, dan Nusantara saling berlayar dan bertukar budaya.
Hotel Ini Bukan Sekadar Tempat Menginap
Saya menginap di lantai dua, di kamar paling ujung. Derap langkah kami cukup ramai malam itu berpadu dengan roda koper yang digeret.
Kamar saya sederhana tapi penuh nuansa: tembok tebal, langit-langit tinggi, dan sebuah jendela kayu besar yang bisa dibuka ke luar.
Esok pagi begitu saya membuka jendela, halaman depan tampak dari atas. Pepohonan tua berjajar rapi, lampion merah tergantung di antaranya, bergoyang pelan ditiup angin pagi. Tak ada suara bising, tak ada klakson. Hanya suara dedaunan, dan kadang-kadang, derak sepeda melewati jalan di depan hotel.
Keesokan paginya, setelah kembali dari jalan jalan keliling Lasem naik sepeda, saya kembali ke kamar melewati koridor lantai dua yang sepi.
Di koridor itu, saya melihat barisan foto dan gambar dengan kutipan-kutipan inspiratif. Salah satunya membuat saya berhenti cukup lama. Di dinding tergantung gambar bergaya kontemporer: dua perempuan berkebaya encim membawa payung, berjalan berdampingan. Di tengah mereka, seorang lelaki menuntun sepeda, mengenakan caping petani, celana pendek, dan sandal jepit. Teks di bawah gambar itu berbunyi:
"If we cannot end our differences, at least we can help make the world safe for diversity."
--- John F. Kennedy
Saya tak tahu kenapa, tapi kalimat itu terasa sangat cocok dengan suasana Lasem, kota kecil yang menyimpan terlalu banyak perbedaan---dan menyatukannya dalam harmoni yang hening.
Kolam Renang Tanpa Air
Ketika menuju tempat sarapan di serambi belakang, saya melalui sebuah kolam renang, kecil, lumayan cantik namun kosong tidak ada air. Tentu saja tak ada seorang pun yang berenang. Tidak ada jejak kaki basah, tidak ada handuk tergantung. Kolam itu seperti simbol ironi: dibangun dengan niat modern, tapi tak benar-benar dibutuhkan.
Saya tersenyum dalam hati. Siapa yang datang ke Lasem untuk berenang? Lasem bukan Bali. Ia bukan tempat untuk berselancar atau berjemur. Lasem adalah tempat untuk diam dan menyimak---membaca masa lalu lewat kayu, ukiran, keramik, dan wangi kopi lelet.
Ruang Makan
Salah satu tempat di hotel ini yang paling suka adalah ruang makan. Letaknya di samping kolam renang. Bentuknya, terutama atap dan langit-langitnya mengingatkan saya akan suasana penginapan di film-film silat yang sering saya tonton ketika unur belasan tahun. Meja-meja kayu ditata dengan sekenanya, namun tetap serasi denagh kursi-kursi yang juga terbuat dari kayu. Di atasnya tergantung lampion, kipas angin tua, dan aroma masakan rumahan. Di pagi hari, cahaya matahari masuk dari sela atap dan menciptakan bayangan pepohonan di lantai ubin.