Setelah itu saya mengayuh lagi ke arah utara dan tiba di kompleks Masjid Jami yang menjadi pusat kegiatan ziarah di kota ini. Bangunannya besar, atapnya limasan tumpang tiga, dengan dua menara berwarna kecoklatan. Di tepi jalan ada prasasti bertuliskan
"Makam Mbah Sambu (Sayyid Abdurahman) dan Tiga pendiri NU. Ternyata kompleks masjid ini juga menjadi tempat peristirahatan tokoh-tokoh penting dalam penyebaran Islam di Lasem.
Saya tak sempat masuk untuk berziarah, hanya lewat di depan gerbangnya. Tapi keberadaan makam itu sudah cukup menggetarkan. Mbah Sambu dikenal sebagai salah satu wali yang meneruskan ajaran Sunan Bonang di kawasan pesisir utara. Ziarah di sini bukan sekadar ritual, tapi perjumpaan batin dengan warisan kebijaksanaan yang menembus zaman.
Saya kembali menuntun sepeda, di tepi jalan raya Daendles dan kemudian mengarah kembali ke Jalan Karangturi.
Saya melihat Gapura Kampoeng Heritage Karangturi---gerbang bergaya Tionghoa dengan warna merah menyala, atap pagoda, dan tulisan "Kampoeng Heritage Desa Karang Turi Anno 1800". Ternyata ini adalah jalan yang sebelumnya sempat saya kunjungi di awal perjalanan.
Dari sana, saya bertemu dengan satu titik penting lainnya: sebuah bangunan tinggi bercat putih dengan tulisan besar Pondok Pesantren Kauman. Tertulis juga bahwa tempat ini adalah Kantor Pusat Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren Se-Indonesia. Saya benar-benar tak menyangka bahwa di kota sekecil Lasem, berdiri pesantren yang punya peran nasional.
Pagi ini, saya tak hanya mengayuh sepeda, tapi juga melintasi ragam wajah Lasem: wajah Tionghoa, wajah pesantren, wajah spiritual, wajah rumah tua yang menua dengan anggun.
Rute saya belum selesai. Saya teruskan kayuhan hingga mendekati sungai kecil yang membelah kota. Di ujung jalan, berdiri megah sebuah bangunan berwarna merah dadu.
Inilah Kelenteng Poo An Bio, salah satu kelenteng tertua di Lasem. Gerbangnya dihiasi ukiran naga, patung singa emas, dan aksara Hanzi besar di bagian atas.
Saya berdiri sejenak di depannya. Aroma dupa tipis mulai terasa. Tak ada keramaian di pagi hari, hanya suara sapu dan langkah kaki para penjaga kelenteng. Saya tak masuk, hanya berdiri dan menunduk. Di sini, saya benar-benar merasakan kehadiran sejarah yang tidak mati---ia hidup dalam bentuk rumah ibadah, pesantren, gang-gang sempit, bahkan sepeda tua yang saya kayuh sejak tadi.
Jam sudah menunjukkan lewat pukul tujuh. Saya putar balik dan kembali ke hotel. Perjalanan ini bukan hanya keliling kota. Ia adalah ziarah, dalam arti paling dalam. Ziarah terhadap memori, terhadap keberagaman, terhadap harmoni yang nyata---bukan slogan.
Lasem mengajarkan saya bahwa rumah ibadah bisa berdampingan dalam jarak belasan meter. Bahwa rumah tua tak harus ditinggalkan. Bahwa kota kecil bisa menyimpan cerita besar tentang toleransi, budaya, dan spiritualitas. Dan semuanya bisa disaksikan cukup dengan mengayuh sepeda di pagi hari.
Saya kembalikan sepeda itu ke tempat semula. Pria tadi masih ada, kini sedang menyiram tanaman di pojok taman. Saya hanya mengangguk padanya sambil mengucap terima kasih. Tak banyak yang saya bawa pulang, selain rasa tenang dan syukur yang tak bisa dibungkus kata-kata.
Lasem, kota kecil yang mewarisi jejak besar.