Sengkalan Memet: Tahun yang Disembunyikan dalam Ukiran
Setelah puas mengamati interior, kami pun keluar dari ruang utama. Tapi Mas Pur meminta kami berhenti di ambang pintu.
"Coba lihat ke bawah," katanya sambil menunjuk bagian lantai di depan pintu masuk.
Di sana, terdapat ukiran batu yang agak menonjol, bentuknya padat, seperti lilitan dan tonjolan abstrak. Tidak ada tulisan Arab, tidak ada angka yang jelas. Tapi menurut Mas Pur, itulah sengkalan memet---cara khas masyarakat Jawa zaman dulu dalam menuliskan tahun lewat simbol, bukan angka.
Sengkalan ini dikenal dengan nama "Tri Sula Pinulet Naga", dan terdiri dari tiga elemen:
Tri Sula tombak bermata tiga melambangkan angka 3
Pinulet sesuatu yang terjalin atau melilit angka 6
Naga ular besar atau naga angka 8
Menurut kaidah sengkalan, pembacaan dilakukan dari kanan ke kiri, sehingga urutannya adalah 8 -- 6 -- 3. Ini menunjuk pada tahun 863 Hijriah, yang jika dikonversi ke kalender Masehi, jatuh pada tahun 1458 Masehi.
Kami pun berdecak kagum. Ukiran yang awalnya tampak seperti ornamen abstrak ternyata menyimpan angka dan makna mendalam. Relief itu tak sekadar hiasan, melainkan penanda waktu, semacam prasasti diam yang terus berbicara kepada siapa pun yang mau mendengar.
Mengapa Bukan Tahun Saka?
Sempat terlintas pertanyaan: mengapa tahun dalam sengkalan ini memakai kalender Hijriah, bukan Saka seperti di Keraton Yogyakarta atau Surakarta? Mas Pur menjelaskan, pada masa awal Islamisasi di Jawa, para wali sudah mulai memperkenalkan kalender Hijriah dalam ranah keagamaan dan pembangunan masjid, sementara kalender Saka lebih dominan di lingkungan keraton dan adat Hindu-Buddha.
Karena itu, sengkalan dalam bentuk memet seperti ini menjadi semacam jembatan budaya: bentuknya Jawa, bahasanya simbolik, tapi isinya adalah tahun Hijriah. Inilah seni dakwah para wali: tidak menghapus tradisi, tapi mengisi makna baru ke dalam bentuk lama.
Keluar ke Halaman, Menemukan Papan Resmi
Setelah menikmati keheningan dalam masjid, kami pun keluar ke halaman. Langit sudah mulai mendung tipis, tapi suasana tetap sejuk. Di sisi kanan halaman, berdiri sebuah papan informasi resmi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, lengkap dengan logo Cagar Budaya Indonesia dan lambang Kabupaten Kudus.
Papan itu menegaskan apa yang baru saja kami pelajari:
"Masjid Langgardalem yang terletak di Desa Langgardalem, Kecamatan Kota, diperkirakan dibangun pada tahun 1458 M / 863 H, berdasarkan ukiran sengkalan 'Tri Sula Pinulet Naga' yang ada di tangga teras bangunan masjid."
Selain itu disebutkan juga bahwa bangunan masjid terbuat dari bata dan kayu jati dengan ukuran 32,5 x 24,7 meter dan tinggi sekitar 9 meter. Semua informasi ini menguatkan bahwa tempat ini adalah situs bersejarah yang dilindungi negara berdasarkan UU Cagar Budaya.