Di depan saya, Praca do Comercio bersinar keemasan. Langit sore seperti dituang dari ember madu---lembut, hangat, dan nyaris tak bersuara. Sungai Tagus berkilau di kejauhan, dan suara gelak tawa wisatawan menyatu dengan desir angin laut yang lembut. Seorang pemain biola memainkan nada-nada dari lagu lama, berbahasa Portugis, entah lagu siapa, tapi saya tidak ingin buru-buru tahu. Ini adalah salah satu sore yang ingin saya resapi pelan-pelan.
Tiba-tiba , trem warna kuning nomor 15 mendekat dan berhenti di halte. Warnanya kontras dengan batu-batu calcada yang putih abu dan jingga karena cahaya senja. Tanpa banyak berpikir, saya melompat naik. Tidak ada rencana pasti---hanya keinginan untuk melihat biara tua yang sejak lama hanya saya kenal lewat gambar dan buku. Mosteiro dos Jeronimos. Nama itu punya bunyi berat namun lembut, seperti doa yang diucapkan dalam bahasa yang nyaris punah.
Di dalam trem, penumpang tidak terlalu ramai.. Seorang bapak tua membaca koran sambil memegang plastik belanja kecil. Di bangku belakang, pasangan muda tampak membisikkan sesuatu sambil tertawa pelan.
Saya duduk di dekat jendela, bersandar dan membiarkan getaran lembut dari roda trem membawa saya melintasi lapisan-lapisan waktu. Bangunan kota berganti perlahan---dari fasad klasik di Baixa hingga blok-blok industri tua di Alcantara, lalu rumah-rumah rendah dengan taman kecil di depan jendela.
Perjalanan ini terasa seperti menjelajah sebuah narasi panjang yang belum saya baca sampai habis. Lisboa sore hari punya cara tersendiri untuk menidurkan kegaduhan dalam kepala.
Perjalanan ke Belem bukan sekadar kunjungan ke situs sejarah. Ia adalah perjalanan ke dalam ruang-ruang batin yang tak selalu sempat dijelajahi di kota-kota lain. Biara agung, taman senyap, menara di tepi air, dan bahkan bangku trem ini---semuanya membentuk satu cerita. Dan cerita itu bukan hanya tentang tempat, tapi tentang saya, tentang kita, yang menyusuri dunia sambil diam-diam mencari kedamaian.
Saat trem mendekati halte Jeronimos, cahaya matahari sudah condong nyaris horizontal. Saya turun, berjalan cepat melewati taman kecil dan air mancur, menuju bangunan yang sejak awal menjadi tujuan.
Dan di hadapan saya, biara itu berdiri dengan gagah dan megah. Mosteiro dos Jeronimos tak hanya megah. Ia anggun, tapi juga berat, seperti menyimpan rahasia yang tidak akan diceritakan pada sembarang orang. Pilar-pilar Manueline menjulang dengan detail rumit seperti untaian doa yang diukir di batu . Tapi pintunya sudah tertutup. Seorang penjaga yang ramah menjelaskan, "Sudah tutup, senhor. Kembali saja besok pagi."
Saya hanya tersenyum. Tak ada rasa kecewa. Mungkin karena sejak awal saya tidak berharap apa-apa selain bisa melihatnya dari dekat. Saya duduk di bangku taman di depannya, menghadap langsung ke fasad yang tertimpa cahaya terakhir matahari. Di kejauhan, burung camar melintas rendah.