Siapa yang pernah menatap bulan purnama terlalu lama hingga merasa hatinya bergelombang seperti laut pasang? Siapa yang menyalahkan bulan atas kelabilan emosi, keanehan tingkah, bahkan kegilaan yang kadang tak bisa dijelaskan? Tunggu dulu. Ternyata bukan hanya kamu. Sejarah pun pernah menuding sang bulan sebagai biang keladi kegilaan.
Mari kita mulai dari awal---dari kata "Luna", yang terdengar manis dan lembut. Dalam bahasa Latin, Luna adalah nama sang Dewi Bulan. Orang Romawi kuno menyembah Luna sebagai dewi malam yang bercahaya, mengendarai kereta perak di langit. Luna adalah versi Romawi dari dewi Yunani Selene, yang juga punya saudara matahari bernama Helios. Sebagaimana Helios membawa siang, Selene (dan kemudian Luna) membawa malam dengan aura misterius dan romantis.
Namun keindahan bulan ternyata menyimpan efek samping. Bulan, terutama saat purnama, dianggap punya kekuatan misterius yang memengaruhi perilaku manusia. Muncullah kata lain yang berasal dari akar yang sama: "lunatic".
Ya, "lunatic" adalah kata dalam bahasa Inggris kuno yang berarti orang gila, dan secara harfiah merujuk pada orang yang jadi gila karena pengaruh bulan. Kata ini berasal dari bahasa Latin lunaticus, yang berarti "moody" atau "kacau karena bulan". Bahkan dalam King James Bible (1611), istilah "lunatick" digunakan dalam Matius 17:15, menggambarkan seorang anak lelaki yang sering "jatuh ke dalam api dan air"---seolah digerakkan oleh kekuatan tak terlihat. Salah satunya? Tentu saja: bulan.
Kenapa bulan disalahkan?
Dari zaman dahulu, banyak budaya mengaitkan siklus bulan dengan perubahan emosi, bahkan gangguan mental. Seorang filsuf Romawi bernama Pliny the Elder pernah menulis bahwa otak adalah bagian tubuh manusia yang paling lembab, dan karena bulan mengontrol pasang surut laut (yang juga cairan), maka bulan juga bisa memengaruhi isi kepala manusia.
Logika zaman itu sederhana: jika air laut bisa ditarik oleh bulan, maka cairan tubuh manusia juga bisa. Maka jika kamu gelisah saat purnama, menangis di pojokan kamar, atau merasa galau tanpa sebab, bisa jadi kamu sedang "ditarik" bulan.
Kalau sekarang kedengarannya konyol, dulu ini dianggap sains. Bahkan sampai abad ke-18, istilah "lunacy" masih digunakan dalam hukum di Inggris untuk menyebut orang yang kehilangan akal karena fase bulan.
Bulan dan emosi: benarkah ada hubungan ilmiahnya?
Secara ilmiah, klaim bahwa bulan purnama menyebabkan kegilaan belum terbukti. Studi modern menunjukkan tidak ada korelasi signifikan antara fase bulan dan gangguan mental. Tapi... pesona bulan tetap tak bisa diabaikan. Psikolog bahkan menyebut efek "self-fulfilling prophecy"---karena kita percaya bulan bisa membuat orang bertingkah aneh, kita jadi lebih aware terhadap kelakuan aneh saat purnama.
Dan, hei, dalam budaya pop, bulan tetap punya citra magis: dari manusia serigala, penyihir, hingga tokoh Sailor Moon yang "berubah" saat bulan purnama. Semua kembali pada mitos lama yang terus hidup dalam imajinasi kita.
Luna juga dirayakan: Lunar New Year dan penanggalan bulan
Selain dianggap memengaruhi emosi dan gelombang laut, bulan juga menjadi pusat penanggalan dalam banyak budaya kuno---terutama di Asia Timur. Kalender lunar, atau kalender berdasarkan siklus bulan, digunakan oleh masyarakat Tionghoa untuk menentukan waktu perayaan penting seperti Imlek alias Lunar New Year.
Lunar New Year selalu jatuh pada bulan baru pertama setelah titik balik matahari musim dingin, biasanya antara akhir Januari dan pertengahan Februari. Tanggalnya berubah setiap tahun karena tidak mengikuti kalender Gregorian, tapi justru mengikuti pergerakan bulan.
Tahun Baru Imlek bukan sekadar perayaan budaya; ia juga bentuk penghormatan terhadap siklus alam. Ketika keluarga berkumpul, petasan dinyalakan, dan angpau dibagikan, semua itu terjadi di bawah restu bulan yang---untungnya---lagi mood baik, bukan lunatic.
Main-main dengan bahasa: dari Luna ke lunacy
Lihatlah jalur etimologi ini:
Luna (Latin): dewi bulan.
Lunaticus (Latin): orang yang kehilangan akal karena bulan.
Lunatic (Inggris Kuno -- Modern): orang gila.
Dari akar yang sama, muncul dua rasa yang berbeda: satu indah, satu menyeramkan. Luna membawa bayangan keindahan dan puisi; lunatic membawa kesan gelap dan liar.
Kata lunatic sendiri kini dianggap usang dan ofensif dalam dunia medis. Sejak abad ke-20, istilah ini sudah tak digunakan secara resmi untuk menyebut gangguan mental. Organisasi seperti WHO dan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) menggunakan istilah yang lebih klinis dan netral, seperti "bipolar disorder" atau "schizophrenia."
Tapi kata itu tetap hidup di dalam bahasa sehari-hari, sastra, bahkan lagu. "You drive me crazy, like a lunatic in love," kata lirik-lirik lagu patah hati.
Luna, Lunacy, dan Kita
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini?
Pertama, bahwa bahasa itu seperti cermin sejarah manusia---penuh kepercayaan, ketakutan, dan romantika. Dari satu akar kata bisa tumbuh dua cabang rasa yang sangat berbeda.
Kedua, bahwa manusia selalu mencoba mencari penjelasan untuk hal-hal yang tidak bisa dikontrol. Saat seseorang bertingkah aneh, kita ingin menyalahkan sesuatu: cuaca, bintang, atau... bulan.
Ketiga, Luna dan lunacy menunjukkan bagaimana bahasa bisa membentuk persepsi. Kita mungkin menyebut seseorang "gila bulan", tapi itu bisa berarti dua hal: tergila-gila akan romantika, atau benar-benar kehilangan logika. Semua tergantung nada dan konteks.
Penutup: Jangan salahkan bulan terus
Kini, mari kita maafkan bulan. Dia hanya menggantung di langit, tenang dan diam. Dia tidak pernah memerintah kita untuk jatuh cinta, menangis, atau menulis puisi tengah malam. Dia hanya memantulkan cahaya matahari dengan caranya sendiri---kadang utuh, kadang separuh, kadang nyaris tak tampak.
Tapi justru dalam ketidaksempurnaannya itulah, Luna menciptakan ruang bagi imajinasi. Ia mengundang kita untuk menyelam ke dalam kegelapan dan bertanya: apakah kegilaan itu selalu buruk? Ataukah itu hanya cara lain untuk menjadi manusia yang... terlalu peka, terlalu merasa, terlalu hidup?
Karena kadang, dalam cahaya bulan, kita semua adalah sedikit lunatic.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI