Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Buku-Buku yang Menemani Perjalanan di Kereta

1 Mei 2025   11:02 Diperbarui: 1 Mei 2025   11:07 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang membaca di Kereta di Tiongkok : china daily 


Di sebuah sudut senyap kota yang terus bergerak, di antara hentakan roda besi dan pengumuman yang mengambang di udara, dulu pernah ada sebuah kebiasaan yang lembut dan bijak: membaca buku di dalam kereta. 

Bukan hanya satu atau dua orang. Tapi banyak—cukup banyak untuk membuat saya merasa bahwa kereta adalah perpustakaan berjalan.

Kini, kursi-kursi itu masih ada. Suara pintu yang membuka dan menutup pun masih sama. Tapi pemandangan di dalamnya telah berubah. Buku-buku kertas, yang dulu membuka dunia bagi banyak penumpang, kini tergantikan oleh layar kecil yang menyala biru. Kepala-kepala menunduk, bukan karena khusyuk pada kalimat Pramoedya Ananta Toer—yang bukunya dulu harus dibaca diam-diam, kadang bahkan disembunyikan sampulnya—atau NH Dini, tapi karena terpaku pada notifikasi yang tak habis-habis.

Saya rindu pemandangan itu. Seseorang yang tenggelam dalam Salah Asuhan, atau remaja yang tersenyum sendiri membaca Namaku Hiroko. Bahkan seorang bapak tua yang dengan serius membuka halaman demi halaman kamus Belanda–Indonesia, seakan hendak membongkar kembali masa lalu kolonial yang penuh luka dan cerita.

Saya sendiri dulu begitu. Naik KRL di Jakarta—bukan karena romantisme, tapi karena kebutuhan. Dan di sanalah saya menjinakkan waktu yang seringkali liar, dengan membuka buku apa saja yang sempat saya bawa. Kadang novel. Kadang cerpen. Kadang buku pelajaran bahasa asing. Saya pernah berdiri di tengah sesaknya kereta sambil memegang Don Quijote de la Mancha, membiarkan imajinasi saya menunggang kuda tua bersama hidalgo gila dari La Mancha itu.
Lain waktu saya membawa Cien años de soledad, tenggelam dalam keajaiban Macondo dan nasib keluarga Buendía yang berputar seperti roda takdir. Saya tidak sedang di Kolombia, tidak pula di abad yang lalu, tapi kereta kota adalah pintu ke mana-mana, selama saya membawa buku.

Kini, kereta menjadi ruang hening yang penuh gemuruh dalam kepala. Bukan karena isi buku yang menggugah, tapi karena hiruk-pikuk media sosial. Jempol kita lebih sibuk daripada pikiran kita. Kita menggulir, bukan menyelami. Kita memindai, bukan membaca.

Padahal, di negeri-negeri yang jauh—yang katanya sudah jauh lebih digital dari kita—saya masih melihat sisa kebiasaan itu. Di Jepang, misalnya. Di kereta bawah tanah Tokyo yang padat tapi teratur, masih tampak anak-anak SMA membaca buku cetak. Bukan hanya manga, tapi juga buku pelajaran, bahkan sastra klasik. Di Rusia, saya melihat seorang perempuan tua membuka halaman Anna Karenina, karya Tolstoy, dengan pelan, seakan tidak tergesa oleh waktu. Dan di Tiongkok, pemandangan yang lebih menggetarkan: anak-anak membaca buku pelajaran di kereta bawah tanah di Nanjing. Di tengah lalu-lalang dan pengumuman yang tak henti, mereka belajar. Serius. Diam. Seolah dunia hanya terdiri dari buku dan waktu yang mereka curi dari perjalanan.

Mereka membaca. Mereka tidak hanya hidup—mereka tumbuh.
Pernahkah kita bertanya, mengapa membaca di dalam kendaraan umum terasa begitu istimewa? Mungkin karena waktu yang biasanya terbuang, tiba-tiba menjadi ruang. Karena deru kendaraan tidak mengganggu, justru menemani. Karena di dalam kereta, kita sedang bergerak—dan buku membuat jiwa kita ikut bergerak. Ke dalam. Ke luar. Ke mana pun yang kita inginkan.

Dulu, pejuang pembebasan kulit hitam Amerika bernama Frederick Douglass, seorang mantan budak yang mengajar dirinya sendiri membaca dan akhirnya menjadi orator dan negarawan besar, pernah berkata:
“Once you learn to read, you will be forever free.”
(Setelah kamu bisa membaca, kamu akan selamanya merdeka.)

Kebebasan itu tidak selalu berarti melarikan diri. Kadang, ia justru hadir di tengah kereta yang bergerak perlahan, saat kita membuka halaman demi halaman dan merasa: dunia ini luas, dan aku bisa menjangkaunya.

Hari ini saya kembali naik kereta, mencoba mengulang masa lalu. Seperti biasa, Saya naik di stasiun Bekasi. Buku  tipis saya ambil dari ransel. Bukan buku penting. Hanya buku kumpulan puisi Chairil Anwar berjudul “Deru Campur Debu.”  Tapi saat saya buka halaman pertama, terasa seperti menarik kembali napas yang lama hilang. Seseorang di sebelah saya melirik. Lalu menunduk lagi ke layar gawainya. Tak apa.

Di stasiun Kranji, seorang bocah naik bersama ibunya. Bocah itu membaca buku komik Dora Emon. Bukunya sudah kusam, tampaknya sering dibaca. Tapi matanya berbinar, mulutnya bergerak pelan membaca suara dalam hatinya. Saya ingin berkata: teruskan, Nak. Dunia akan berubah, tapi bacalah. Karena dari situ kamu akan mengenal dunia yang tak bisa dilihat dari jendela kereta ini. Saya sendiri ingat waktu kecil dulu tergila-gila dengan komik wayang karya R.A.Kosasih.

Kita hidup di zaman ketika membaca buku dianggap kegiatan lambat. Padahal justru dari kelambatan itulah kita mencerna, mengendapkan, lalu memahami. Dunia bisa menunggu. Tapi isi pikiran kita tak akan tumbuh jika hanya diisi dengan gawai.

Membaca di kereta adalah salah satu bentuk “pergi jauh”. Bahkan saat tubuh saya tak bergerak lebih dari dua puluh kilometer, jiwa saya bisa mengembara ribuan halaman. Ke abad ke-17 bersama Don Quijote. Ke desa Macondo yang penuh hujan kupu-kupu kuning dalam buku Gabriel García Márquez . Ke masa depan yang bahkan belum saya kenal.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
— Pramoedya Ananta Toer
Nah berasal dari suka membaca ini pula, saya akhirnya menulis supaya tidak hilang dalam sejarah.
Mungkin tidak semua orang suka membaca. Dan itu tidak apa-apa. Tapi jangan sampai kita kehilangan kebiasaan yang satu ini hanya karena semuanya kini terasa bisa digantikan oleh video pendek dan caption viral.

Membaca buku di kereta adalah bentuk perlawanan kecil. Perlawanan terhadap ketergesaan, terhadap budaya serba cepat, terhadap lupa yang merayap perlahan.
Dan mungkin, hanya mungkin—suatu hari nanti—gerbong KRL, MRT, atau LRT  kita kembali dipenuhi dengan halaman-halaman yang terbuka. Bukan hanya layar yang menyala.

Mari kita mulai lagi, dari satu buku. Dari satu perjalanan. Dari satu halaman yang kita buka sambil duduk di bangku yang bergoyang pelan. Tidak perlu menunggu waktu sempurna. Tidak harus buku berat. Yang penting: buka. Baca. Nikmati.
Karena di dunia yang serba cepat ini, membaca buku di kereta adalah satu bentuk keheningan yang paling revolusioner.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun