Sudah hampir satu jam saya berada di Makam Belanda di Kebon Raya Bogor, menikmati keindahan dan sakralnya batu nisan dengan nama dan kutipan ayat ayat suci.
Melihat dan membaca tulisan di nisan ini, saya seakan kembali ke masa lampau di rumah masa depan mereka.
Nisan-nisan batu tua berbaris dengan tulisan berbahasa Belanda, sebagian mulai samar dimakan waktu. Tempat ini menjadi pengingat betapa Kebun Raya bukan hanya tempat botani, tapi juga ruang sejarah yang hidup.
Tak jauh dari makam, suara burung dan dedaunan bergesekan menciptakan simfoni sunyi yang mengajak siapa pun untuk merenung.
Taman Teijsmann dan Tugu yang Terlupakan
Dari sana, kami kembali mengayuh sepeda menuju Taman Teijsmann, salah satu bagian tertua dari Kebun Raya. Di tengah taman yang tertata simetris ala taman Eropa klasik, berdiri Tugu Teijsmann---monumen peringatan untuk Johannes Elias Teijsmann, ahli botani kelahiran Belanda yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya Bogor dari tahun 1830 hingga 1869.
Ada inskripsi dalam bahasa Belanda yang menyebutkan bahwa tugu ini dibangun oleh teman-teman dan pengagum beliau pada 1844.
Teijsmann punya peran besar dalam memperkaya koleksi tanaman tropis, termasuk menyebarkan tanaman kopi, karet, dan kelapa sawit ke Indonesia. Taman ini seperti penghormatan diam pada ilmu pengetahuan dan dedikasi terhadap alam. Tak banyak orang singgah di sini, tapi saya duduk sejenak, menikmati tenangnya tempat ini.
Bercakap Ringan di Bawah Pohon
Sambil beristirahat, saya kemudian ngobrol ngakor ngidul dengan sang keponakan. Di antara percakapan ringan, saya iseng bertanya, "Siapa Yang di-Pertuan Agong sekarang?"
Ia tersenyum bingung, lalu buru-buru membuka ponselnya. "Oh... sekarang Sultan Ibrahim dari Johor," jawabnya setelah memeriksa Google.
Kami tertawa. Di era digital, bahkan identitas kepala negara pun bisa terlupakan. Tapi momen kecil ini menjadi pengingat betapa globalisasi telah mendekatkan kita dalam cara yang unik---duduk di taman kolonial, dua warga negara serumpun, berbagi canda sambil belajar sejarah. Sementara saya masih ingat dulu sewaktu SMP saya bahkan hafal semua menteri menteri kabinet Pembangunan.
Pohon Jodoh: Romantisme Akar dan Mitos
Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan dengan sepeda, sendiri kali ini, menuju Pohon Jodoh---sepasang pohon yang tumbuh berdampingan sejak tahun 1866. Pohon itu adalah Beringin Putih (Ficus benjamina) dan Meranti Merah (Shorea leprosula). Akarnya saling bersilangan, batangnya berdiri dekat, seolah bersandar satu sama lain.
Mitos mengatakan bahwa pasangan yang berdoa bersama di sini akan langgeng hubungannya. Romantis, meski tak ilmiah. Tapi siapa yang bisa menyangkal kekuatan simbol dan doa?
Saya berdiri di sana dalam diam, membiarkan waktu berjalan pelan. Mungkin memang kita butuh tempat seperti ini---di mana harapan bisa menempel pada pohon, dan doa menggantung di udara yang bersih.
Makam Keramat: Ziarah dan Tradisi Spiritual
Langkah saya berlanjut ke satu tempat yang penuh ketenangan dan aura mistis: Makam Keramat. Hari itu, saya beruntung (atau tepatnya: tepat waktu). Banyak peziarah, sebagian besar ibu-ibu, sedang berdoa dan membaca surat Yasin. Suasananya sangat khusyuk, bahkan terasa sampai di luar kompleks makam.
Konon, makam ini adalah milik seorang Syekh Abdurrahman, tokoh penyebar agama Islam di wilayah Bogor. Walau tak banyak catatan sejarah resmi, masyarakat sudah lama menganggap tempat ini sebagai makam orang saleh.