"Fratres et Sorores, Habemus Papam... Paus Clemens Primus, ex Indonesia Oriendus"
(Saudara dan saudari, kita memiliki Paus... Clemens Pertama, berasal dari Indonesia.)
Untuk pertama kalinya dalam sejarah panjang Kekristenan, suara lantang dari balkon Basilika Santo Petrus menggema menyebut nama yang tak pernah terbayangkan sebelumnya: "Clemens Primus, ex Indonesia oriundus."
Umat Katolik dari berbagai belahan dunia menengadah, tak hanya karena penasaran siapa gerangan Paus baru ini, tetapi juga karena nama asalnya yang begitu jauh: Indonesia.
Negara kepulauan tropis di Asia Tenggara ini mungkin bukan yang pertama kali muncul dalam peta imajinasi dunia Katolik. Namun hari itu, sejarah ditulis ulang. Seorang putra Indonesia, yang tumbuh dalam harmoni keragaman, mendalami teologi dengan semangat rendah hati, dan dikenal karena diplomasi spiritualnya, berdiri sebagai pemimpin Gereja Katolik Roma.
Proses Pemilihan yang Sakral
Pemilihan Paus terjadi melalui Konklaf, yaitu pertemuan tertutup para Kardinal yang berhak memilih Paus, umumnya yang berusia di bawah 80 tahun. Mereka berkumpul di Kapel Sistina, berdoa, berdiskusi, lalu memberikan suara secara rahasia. Diperlukan dua pertiga mayoritas untuk mengangkat seorang Kardinal menjadi Paus.
Setiap sesi pemungutan suara yang tidak membuahkan hasil akan diakhiri dengan pembakaran kertas suara---yang asapnya, jika berwarna hitam, menandakan belum terpilihnya Paus. Ketika akhirnya suara mayoritas tercapai dan si Kardinal menerima panggilan itu dengan jawaban "Accepto", maka asap putih mengepul, lonceng Basilika berbunyi, dan umat bersorak. Demikianlah dunia mengenal Paus baru.
Dalam kasus Clemens Primus, proses itu tidak hanya menandai pergantian pemimpin spiritual, tetapi juga pergeseran simbolik dari pusat-pusat lama kekuasaan rohani ke belahan bumi yang selama ini dianggap perifer.
Siapa Clemens Primus?
Clemens Primus lahir di kota kecil yang tidak banyak dikenal dunia. Ia tumbuh di lingkungan plural, bersekolah di lembaga Katolik namun bertetangga dengan masjid, pura, dan vihara. Sejak muda, ia tertarik pada ajaran Agustinus dan Fransiskus Assisi, namun juga gemar membaca sastra Asia dan filsafat Timur.