Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Tur Berbahasa Rusia dan Kazhak ke Charyn Canyon

16 April 2025   20:31 Diperbarui: 19 April 2025   16:33 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu, udara Almaty masih sejuk ketika saya dan istri berangkat untuk mengikuti sebuah tur lokal ke lima lokasi selama sehari penuh yang sudah kami pesan langsung sehari sebelumnya.

Tur ini dijalankan oleh KK Tour, operator lokal yang menawarkan paket wisata murah meriah untuk warga Kazakhstan maupun para pelancong yang tertarik bergabung dengan gaya perjalanan lokal.

Harga yang saya bayarkan pun cukup bersahabat, hanya 13.000 Tenge per orang, jauh lebih murah dibandingkan tur berbahasa Inggris yang tarifnya bisa lima kali lipat lebih mahal. Tapi tentu saja, ada konsekuensinya: tur ini sepenuhnya dilakukan dalam bahasa Rusia dan Kazakh. Bahasa Inggris hanya muncul sesekali, dan itu pun hanya jika kami memintanya secara langsung pada pemandu wisata yang tampaknya sudah maklum bahwa saya bukan penutur asli bahasa Rusia.

Taksi Yandex tiba di tempat berkumpul yaitu di sebuah ruangan terbuka di atas stasiun metro Abai. Kami melihat deretan bus besar parkir yang rupanya dari berbagai tur dengan berbagai tujuan. Akhirnya kami menemukan bus KK tour dan menunggu sudah yakin bahwa ini adalah bus yang akan membawa kami.

Namun ketika kami bersiap naik ke bus, pemandu wisata mengatakan bahwa tempat kumpul kami bukan di sini. Bus ini memang ke Charyn Canyon tetapi dengan rute dan tempat tujuan yang berbeda.

Untunglah pemandu dari bus tersebut sangat membantu. Dia menelepon Adema, pemandu dari tur kami yang sebenarnya, dan segera memesankan taksi Yandex untuk menjemput dan mengantarkan kami ke titik kumpul yang benar. Sungguh pelayanan yang luar biasa. 

Sebenarnya sudah ada pemberitahuan tadi malam, namun nomer saya tak dimasukkan ke grup WhatsApp, sehingga info terakhir tentang perubahan lokasi pun tak saya terima. Meski begitu, akhirnya kami berhasil bergabung dengan rombongan yang benar dan berangkat sekitar pukul 06.45 pagi.

Pagi di perjalanan(Dokumentasi Pribadi)
Pagi di perjalanan(Dokumentasi Pribadi)

Hari masih gelap ketika bus meninggalkan pusat kota Almaty. Bahkan sebagian besar penduduknya mungkin masih tertidur ketika saya sudah duduk manis di dalam yang siap membawa kami menuju salah satu keajaiban alam Kazakhstan: Charyn Canyon. 

Saya membuka gadget, jarak dari Almaty ke sana sekitar 215 km---kalau lancar, bisa ditempuh dalam waktu 3,5 hingga 4 jam. Tapi percayalah, ini bukan sekadar soal sampai atau tidak, melainkan soal menikmati setiap detik di perjalanan.

Suasana di tepian jalan (Dokumentasi Pribadi)
Suasana di tepian jalan (Dokumentasi Pribadi)

Begitu meninggalkan kota Almaty, bus melaju di jalan raya A351 yang lebar dan mulus seperti jalan bebas hambatan. Meskipun bukan jalan tol resmi seperti di Indonesia (nggak ada bayar-bayaran di gerbang tol), kondisi aspalnya mulus banget dan jalanan relatif sepi. Udara pagi sejuk, dan jendela bus jadi bingkai sempurna untuk melihat dunia luar berubah perlahan.

Di awal-awal perjalanan, masih banyak gedung-gedung dan rumah penduduk. Tapi tak lama, kami mulai melewati daerah pinggiran seperti Kaskelen, lalu desa-desa kecil seperti Uzynagash. Beberapa desa tampak sederhana, dengan rumah-rumah berdinding rendah dan ladang terbuka yang membentang ke segala arah.

Ketika mentari mulai menampakkan sinarnya, di pinggir jalan sesekali terlihat penjual buah lokal. Mereka duduk di kursi lipat dengan meja kecil, menjajakan semangka, melon, anggur, dan apel dalam tumpukan yang menggoda. 

Musim panas baru saja usia dan ini adalah waktu panen. Setelah berjalan sekitar dua jam bus sempat berhenti di rest area dan kami mampir ke toko kecil membeli minuman ringan atau kopi dan makanan kecil. Di halaman, ada juga seorang petani tua dengan topi jerami sedang memotong melon, aromanya manis dan segar!

Kota atau desa yang kami lalui antara lain Issyk dan Shelek---nama-nama yang mungkin asing bagi turis asing, tapi menjadi bagian penting dalam lanskap perjalanan menuju tenggara Kazakhstan, tak jauh dari perbatasan Kirgizstan dan Tiongkok.

Kian jauh meninggalkan Almaty, pemandangan mulai berubah. Rumput-rumput yang dulunya hijau mulai menguning. Stepa Kazakhstan mulai memperlihatkan wajah musim gugurnya---hamparan keemasan sejauh mata memandang, seolah bumi ditaburi sinar matahari yang membeku. 

Di kejauhan, pegunungan Tian Shan menjulang dengan pucuknya yang mulai ditutupi salju tipis. Langit biru bersih, dan awan putih menggantung tenang seperti lukisan. Rasanya seperti menonton film alam dalam resolusi 4K.

Qazaqstan 2050 (Dokumentasi Pribadi)
Qazaqstan 2050 (Dokumentasi Pribadi)

Sekitar 3 jam perjalanan, kami mendekati desa Shelek. Di sinilah bus mulai berbelok ke kanan, meninggalkan jalan utama dan masuk ke jalan yang lebih kecil. Medannya mulai berubah---sedikit lebih kasar, lebih sempit, dan debu mulai beterbangan. Tapi ini justru bagian yang bikin seru. Rasanya seperti mulai masuk ke "zona petualangan".

Sepanjang jalan ini, bukit-bukit rendah mulai terlihat, tanahnya berwarna merah kecokelatan, dan vegetasinya mulai jarang. Pepohonan kecil berdiri menyendiri di tengah tanah gersang. 

Saya sempat melihat bukit dengan tulisan besar "QAZAQSTAN 2050" yang ditulis dengan batu putih di lereng bukit---mirip seperti tulisan "HOLLYWOOD" di Los Angeles. Sepertinya ini semacam simbol visi masa depan Kazakhstan, mirip dengan konsep "Indonesia Emas 2045".

Lanskap pedesaan (Dokumentasi Pribadi)
Lanskap pedesaan (Dokumentasi Pribadi)

Makin dekat ke Charyn, makin terasa suasananya berubah. Cuaca lebih hangat. Angin mulai kering, aroma tanah dan batu terasa kuat. Sekitar 20 menit sebelum tiba, kami sempat melewati titik pandang alami yang memperlihatkan Charyn Canyon dari kejauhan. 

Dari atas sini, terlihat seperti ada retakan besar yang membelah bumi---warnanya merah, oranye, dan keemasan. Rasanya seperti melihat Grand Canyon versi Asia Tengah. Akhirnya, kami pun tiba di area parkir utama. Saya turun dari bus dan berdiri sejenak, membiarkan angin ngarai menyapa wajah.

Dari titik pemberhentian bus, kami berjalan menuju ke tepian ngarai. Dari sini, saya terpesona melihat ke arah ngarai yang terbentang seperti lukisan alam. Di sinilah titik awal rute jalan kaki menuju Valley of Castles, jalur ikonik sepanjang 2,5 kilometer yang memperlihatkan formasi batuan unik mirip benteng-benteng zaman kuno.

Info (Dokumentasi Pribadi)
Info (Dokumentasi Pribadi)

Sebuah papan informasi besar memuat peta jalur jalan kaki serta ikon-ikon penting: titik pandang, tempat foto, toilet, bahkan lokasi untuk naik mobil jika tidak ingin berjalan kaki kembali ke titik awal.

Di depan saya, terbentang Valley of Castles, bagian paling ikonik dari Charyn Canyon---formasi batu yang menjulang seperti menara istana di negeri dongeng. Jalan setapak menurun perlahan ke dalam ngarai, dan saya pun bersiap untuk menjelajahinya.

Ngarai Valley of castle (Dokumentasi Pribadi)
Ngarai Valley of castle (Dokumentasi Pribadi)

Saya pun memutuskan untuk turun menyusuri lembah itu sendiri, sementara istri saya memilih tetap di atas bersama pemandu wisata. Keputusan yang cukup bijak mengingat jalur menurun ini butuh stamina yang lumayan dan tidak semua orang nyaman menuruni jalur berdebu dan berbatu.

"Setelah berjalan kaki sekitar 3 kilometer, nanti kita bisa kembali dengan naik kendaraan dengan membayar 500 Tenge," demikian pesan Adema .

Valley of Castles: Menyusuri Lorong Waktu di Tengah Batu

Pemandangan(Dokumentasi Pribadi) 
Pemandangan(Dokumentasi Pribadi) 

Begitu melangkah masuk ke lembah, suasananya berubah drastis. Dari atas hanya terlihat bukit-bukit dan tebing, tapi begitu berada di bawah, batu-batu raksasa menjulang tinggi di kanan kiri seperti dinding benteng. Tak heran lembah ini disebut Valley of Castles, karena bentuknya memang menyerupai kastil kuno yang sudah lama ditinggalkan.

Saya berjalan pelan-pelan, menikmati tekstur batu berwarna cokelat kemerahan, dengan lapisan-lapisan horizontal yang mengisyaratkan ribuan tahun proses geologi. Angin bertiup ringan, membawa butir debu dan aroma tanah kering khas stepa Asia Tengah.

Foto terbalik (Dokumentasi Pribadi)
Foto terbalik (Dokumentasi Pribadi)

Beberapa bagian lembah menyempit seperti lorong rahasia, lalu kembali terbuka menjadi lapangan luas yang menampung para pengunjung berfoto. Saya sempat berpapasan dengan rombongan lain, ada yang dari Shymkent, ada yang dari Karaganda. Rata-rata mereka orang lokal yang juga ingin menikmati keindahan warisan alam Kazakhstan ini.

Rombongan tur ini cukup unik hampir semua pesertanya adalah warga lokal. Sepanjang perjalanan di ngarai, saya mencoba bercakap-cakap dan mengganggap ini sebagai kesempatan bagus untuk mempraktikkan bahasa Rusia yang saya pelajari secara otodidak. Meski kadang tersesat makna, tapi suasana akrab di antara rombongan membuat semuanya terasa hangat dan bersahabat.

Yang menarik, para gadis Kazakh di rombongan ini banyak yang memiliki ciri fisik khas ras Mongoloid yang dominan---mata sipit, tulang pipi tinggi, kulit cerah---membuat mereka sekilas terlihat seperti gadis Tionghoa di Glodok. Tapi tentu saja mereka berbicara Kazakh dan Rusia serta menunjukkan identitas nasional yang kuat dan bangga sebagai warga negara Kazakhstan.

Raymbek Bartur (Dokumentasi Pribadi)
Raymbek Bartur (Dokumentasi Pribadi)

Sesekali saya beristirahat dan sempat bertemu dengan sebuah papan informasi tentang pahlawan Raymbek Batyr. Ternyata di kawasan sekitar sini yang bernama Lembah Soghet adalah tempat yang indah dan juga bersejarah .

Menurut kisah setempat, Lembah Soghet adalah tempat di mana pahlawan Kazakh legendaris Raiymbek Batyr memimpin pasukannya melawan para penakluk Dzungaria. Kemenangan mereka di sini bukan hanya penting dalam sejarah Kazakhstan, tapi juga menjadi simbol semangat kebebasan yang terus hidup hingga kin

Yang paling mencengangkan, pemandangan di sekitar sini sangat berbeda dari lanskap lainnya di Kazakhstan. Beberapa orang bahkan menyebutnya "Mars-nya Kazakhstan". Dan memang benar---dengan tekstur tanah yang kering, formasi batu aneh, dan warna merah karat yang menyala di bawah sinar matahari, rasanya seperti mendarat di planet lain

UAZ 452 terbalik (Dokumentasi Pribadi)
UAZ 452 terbalik (Dokumentasi Pribadi)

Setelah berjalan hampir satu jam plus istirahat menit, saya mulai merasa makin lelah, dan ujung lorong tempat kita bisa naik kendaraan belum juga tampak.
Untungnya kemudian terlihat kendaraan yang lumayan besar dan gagah dari zaman Soviet meluncur ke arah kembali. Saya mencoba menghentikan kendaraan ini dan untungnya masih ada kursi yang kosong.

Charyn Canyon (Dokumentasi Pribadi)
Charyn Canyon (Dokumentasi Pribadi)

Sesampainya di kaki tangga untuk kembali naik, saya hanya dikutip ongkos 500 Tenge seperti yang diinfokan oleh Adema. Belakangan saya juga tahu bahwa kendaraan yang baru saya buku dan mirip angkot besar ini adalah model UAZ-452 alias Bukhanka---si mobil roti legendaris dari era Soviet. Kendaraan ini memang seperti "ikon mobil pegunungan Asia Tengah", dari Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, sampai Mongolia pun banyak dipakai.

Sensasi naiknya unik banget. Getarannya kasar, tapi justru itu yang bikin terasa petualangannya---ditambah suasana alam liar dan pengemudi lokal yang seolah tahu setiap batu di jalur itu

Mobil ini membawa kami kembali ke titik awal perjalanan dan kemudian kembali mendaki menuju pelataran sambil sesekali memandang ngarai dan bebatuan dari sudut berbeda.

Istri saya menyambut saya dengan senyum dan dua gelas teh hangat yang dibeli dari kantin kecil di dekat parkiran. Di sana juga ada Cafe, resto dan toko yang menjual makanan dan souvenir.

Ini baru titik pertama dari perjalanan kami hari itu. Kami segera kembali ke bus untuk melanjutkan ke lokasi berikutnya.

Perjalanan ini terasa lebih tenang. Matahari kian tinggi dan memancarkan cahaya keemasan yang membingkai perbukitan dan lembah. Di kejauhan terlihat ladang luas dan rumah-rumah kecil khas pedesaan Kazakhstan. Sesekali bus melambat untuk memberi ruang bagi truk besar atau kambing yang melintas.

Meski tur ini tak dilengkapi fasilitas pemandu berbahasa Inggris, namun pengalaman yang kami dapatkan justru terasa lebih otentik, lebih lokal, dan lebih hidup. Kami berbaur dengan warga Kazakhstan, tertawa bersama mereka, dan menyaksikan keindahan alam negara ini dari kacamata orang lokal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun