Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kampung Pulo Geulis yang Damai Dalam Keberagaman, Buktinya Ada di Kelenteng Ini

26 Oktober 2022   11:05 Diperbarui: 12 November 2022   09:25 1281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mona. Puteri almarhum Pak Bram yang merupakan pemerhati dan tetua kampung Pulo Geulis juga menambahkan sedikit kisah tentang kampung Geulis dengan menekankan bahwa kata geulis sendiri berarti cantik dalam Bahasa Sunda.  Sementara Pak Hamzah yang menjadi ketua RW juga menjelaskan sedikit mengenai komposisi penduduk dan jumlah RT serta Kepala keluarga di kampung ini Ada sekitar 2500 warga dan 700 lebih KK, katanya.  Dan untuk urusan keberagamn, pak RW sendiri menjadi contoh karena beliau sendiri mempunyai istri yang etnis Tionghoa.

Pak Chandra kemudian melanjutkan sedikit kisah mengapa kelenteng ini bernama Phan Ko Bio.  Rupanya karena yang menjadi dewa pelindung di kelenteng ini adalah Dewa Pan Kho yang dipercaya merupakan dewa dari segala dewa atau bahkan leluhur  bagi orang Tionghoa.

Altar Eyang Jugo: Dokpri
Altar Eyang Jugo: Dokpri

Ada beberapa altar di kelenteng ini, baik untuk Dewa Phan Ko maupun Dewi Kwan im, Sang Buddha dan juga beberapa dewa lainnya. Uniknya juga ada altar untuk Eyang Jugo Imam Sudjono.  Sayangnya saya lupa bertanya siapkah beliau dan mengapa ada altarnya di kelenteng ini.

Petilasan : Dokpri
Petilasan : Dokpri

"Siapa yang mau solat, bisa juga di ruang bagian belakang," demikian kata pak Chandra lagi sambil mengajak kami meninjau ruangan belakang yang dindingnya didominasi warna hijau.  Di pojok ruangan ada sebuah musolah kecil dengan sajadah yang terbentang dan juga sebuah petilasan berupa dua batu monolit. Di atas batu ini juga ditaruh selembar sajadah.  Ada papan nama bertuliskan Eyang Jayadiningrat dan Eyang Sakee di depan batu ini selain  beberapa piring berisi uang logam. Minyak dan lilin yang menyala, korek api serta kendi. Juga ada dua buah air kemasan ukuran kecil.

Di sisi lain ada bendera merah putih,  kotak donasi warna merah, hio, hiolo kecil dan juga tasbih yang dikalungkan di batu berbentuk nisan kecil serta kendi dan piring berisi korek api. Namun papan nama di sini bertuliskan Utut Gebok.

Di dinding ruangan ini juga banyak digantung gambar Haramain yaitu Masjid Al Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah, serta juga ada gambar ayat-ayat suci Al Quran.   Juga ada payung hijau bersusun tiga.

Dinding Musolah: dokpri
Dinding Musolah: dokpri

Setelah sejenak melihat ruang petilasan yang menjadi satu dengan ruang salat kami kembali ke beranda tengah dan melihat-lihat altar serta hiasan lain di kelenteng ini.  Rupanya julukan vihara sendiri sebenarnya merupakan warisan zaman orde baru ketika semua kelenteng harus berganti nama menjadi vihara. Karena itu sampai sekarang tidak mengherankan bila banyak kelenteng yang juga bernama vihara.

Di sisi halaman luar juga ada toilet dan unik nya di depan toilet ada beberapa tempat untuk berwudu seperti di masjid.  Bahkan pak Chandra juga bercerita bahwa setiap malam Jumat di ruang belakang juga sering digunakan untuk pengajian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun