Â
Di tengah dunia yang dihuni oleh ketimpangan sosial, kerusakan ekologis, dan krisis makna, pertanyaan apa artinya menjadi manusia? tak lagi bersifat filosofis murni - melainkan menjadi pertanyaan mendesak dan praktis. Di sinilah relevansi pemikiran tiga tokoh besar - Pramoedya Ananta Toer, Martin Heidegger, dan Karl Marx - bertemu dalam satu percakapan panjang tentang hakikat kemanusiaan.
Meski berasal dari latar yang sangat berbeda - Pramoedya sebagai sastrawan-politik, Heidegger sebagai filsuf eksistensial, dan Marx sebagai kritikus ekonomi-politik - mereka bertiga berbagi keresahan yang sama: manusia modern telah tercerabut dari keberadaannya yang otentik.
Humanisme Pramoedya adalah humanisme yang lahir dari pengalaman konkret penjajahan, kemiskinan, dan represi. Ia menulis bukan dari menara gading pemikiran abstrak, melainkan dari luka sejarah dan keterasingan sosial. Dalam karyanya, terutama Bumi Manusia, kita melihat bagaimana kemanusiaan dilucuti oleh sistem yang menindas: kolonialisme, feodalisme, dan kekuasaan yang membungkam nalar.
Namun yang lebih dalam, Pram menolak melihat manusia sebagai korban pasif. Manusia adalah makhluk yang berpikir, mencipta, dan melawan. Menulis - bagi Pram - adalah perlawanan paling halus, dan menjadi manusia adalah proses yang menuntut kesadaran dan keberanian. Inilah bentuk humanisme yang membumi: tidak berhenti pada empati, tetapi tumbuh menjadi tindakan pembebasan.
Martin Heidegger, filsuf Jerman abad ke-20, membawa humanisme ke wilayah ontologi. Ia tidak bertanya "apa itu manusia" dalam arti moral atau politik, tetapi: bagaimana manusia ada di dunia?
Dalam Being and Time, Heidegger menyatakan bahwa manusia (Dasein) adalah makhluk yang "terlempar ke dunia" dan memiliki kesadaran akan keberadaannya. Namun, manusia modern telah terjebak dalam cara berpikir teknologis, di mana segala sesuatu---termasuk manusia dan alam - direduksi menjadi objek kalkulasi dan eksploitasi. Di sinilah Heidegger melihat krisis eksistensial yang mendalam: manusia tidak lagi "mendiami dunia" secara otentik, melainkan hidup dalam keterasingan dari Ada itu sendiri.
Pandangan ini bergema dalam karya-karya Pram, di mana manusia ditampilkan sebagai makhluk yang kehilangan otoritas atas hidupnya sendiri karena kuasa sistem sosial dan sejarah. Jika Heidegger menyebut keterasingan dari "Ada", maka Pram menunjukkannya dalam bentuk keterasingan dari tanah, bahasa, dan harga diri.
Sementara itu, Karl Marx melihat akar keterasingan manusia dalam struktur ekonomi dan sistem kepemilikan. Dalam kapitalisme, manusia teralienasi dari hasil kerjanya, dari sesama, dan bahkan dari dirinya sendiri. Bagi Marx, humanisme sejati hanya mungkin bila struktur sosial-ekonomi berubah: dari penindasan menuju pembebasan kolektif.
Namun Marx bukan hanya bicara soal redistribusi materi. Ia bicara tentang pemulihan martabat manusia sebagai makhluk yang produktif, kreatif, dan sosial. Dengan kata lain, pembebasan manusia tidak cukup bersifat politik, tetapi juga ontologis---sebuah kebebasan untuk mewujudkan diri secara penuh sebagai manusia utuh.
Dalam titik ini, pemikiran Marx dan Pram berjalin erat. Pram menyadari bahwa literasi dan kesadaran historis adalah kunci pembebasan. Ia memperjuangkan hak untuk tahu, hak untuk bertanya, hak untuk mengubah takdir sosial. Kemanusiaan, dalam pandangan keduanya, bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan diperjuangkan.