Faktor sosial pun berperan. Media sosial memperkuat citra ideal hidup sehat, membuat tekanan sosial untuk tampil bugar dan bersih dari rokok semakin besar. Di saat yang sama, banyak komunitas dan tokoh muda mengampanyekan gaya hidup mindful dan self-care---yang tentu bertolak belakang dengan kebiasaan merokok.
Kita juga tak bisa mengabaikan peran ekonomi. Harga rokok yang terus naik karena cukai, ditambah krisis ekonomi global yang memaksa anak muda lebih bijak dalam pengeluaran, membuat rokok semakin kehilangan daya tariknya. Uang rokok lebih baik dialihkan untuk skincare, gym, gadget, kopi, atau liburan.
Fenomena ini tentu membawa implikasi besar, terutama bagi industri rokok. Mereka mulai kehilangan pasar tradisionalnya dan harus beradaptasi dengan strategi baru---dari memasarkan produk "alternatif" seperti rokok elektrik, hingga mengincar pasar-pasar negara berkembang yang regulasinya masih longgar.
Namun yang tak kalah penting adalah makna filosofis dari semua ini: bahwa generasi muda sedang memimpin perubahan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk dunia yang lebih sehat, sadar, dan manusiawi. Mereka tidak hanya berhenti merokok; mereka sedang mendefinisikan ulang apa artinya hidup keren di era baru.
Pada akhirnya, masyarakat dan sejarah yang akan menjawab. Tapi hari ini, kita punya pilihan: apakah akan terus membiarkan bisnis berkembang dari kecanduan, atau mulai membangun dunia yang memuliakan kesehatan, kesadaran, dan pilihan yang benar-benar bebas?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI