Di balik kepulan asap yang tampak elegan di iklan-iklan lawas, ada sebuah paradoks moral yang tak pernah selesai dibicarakan: bisnis rokok, sebuah industri yang secara sadar menjual sesuatu yang diakui membawa kecanduan, risiko kesehatan, dan bahkan kematian. Pertanyaan filosofisnya sederhana namun tajam: apakah pantas sebuah peradaban membangun kekayaan dari menjual kecanduan?
Dalam perspektif utilitarianisme---filsafat moral yang menilai baik buruk berdasarkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang---industri rokok akan sulit dibenarkan. Sebab manfaat ekonominya (seperti penerimaan cukai dan lapangan kerja) seringkali dibayangi oleh kerugian kesehatan yang massif, membebani sistem kesehatan publik, dan menimbulkan penderitaan pribadi dan keluarga yang tak terukur.
Namun, jika ditilik dari pendekatan libertarian, kebebasan individu untuk memilih adalah segalanya. Jika seseorang dewasa secara sadar memilih untuk merokok, apakah negara atau masyarakat punya hak moral untuk menghalangi? Di sini, bisnis rokok berdiri di atas fondasi 'pilihan bebas'---sebuah argumen yang sering digunakan untuk membela keberadaannya.Â
Tapi seberapa bebas pilihan itu, jika produk yang ditawarkan secara ilmiah terbukti mengubah kimia otak dan menciptakan ketergantungan?
Rokok bukan sekadar produk konsumsi; ia adalah simbol ambivalen dari modernitas. Di satu sisi, ia menyumbang pada struktur ekonomi---menciptakan lapangan kerja, menyokong pajak negara, bahkan mendanai pembangunan. Di sisi lain, ia menanamkan benih kehancuran secara perlahan dalam tubuh jutaan konsumen yang mungkin tak sepenuhnya memahami risiko atau tidak cukup berdaya untuk berhenti.
Dalam konteks ini, industri rokok seolah menjadi metafora tentang dunia yang merayakan profit lebih dari nurani. Di tengah gempuran kesadaran kesehatan global dan perubahan gaya hidup generasi muda yang mulai menjauhi rokok, pertanyaan ini semakin menggema: apakah kejayaan bisnis yang dibangun dari menjual kecanduan adalah kejayaan yang bisa dibanggakan?
Dunia sedang menyaksikan perubahan besar yang pelan tapi pasti menggeser paradigma lama: generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, mulai menjauhi rokok. Ini bukan sekadar tren, melainkan refleksi dari transformasi gaya hidup yang lebih sadar, sehat, dan terhubung dengan nilai-nilai baru.
Dulu, rokok identik dengan simbol maskulinitas, kedewasaan, bahkan gaya hidup urban.Â
Namun kini, makna itu mulai runtuh. Generasi muda tumbuh dalam era keterbukaan informasi, di mana mereka lebih mudah mengakses data ilmiah, kampanye kesehatan, hingga pengalaman personal tentang bahaya rokok. Mereka tak hanya tahu bahwa rokok bisa membunuh---mereka percaya dan bertindak berdasarkan pengetahuan itu.
Selain faktor kesehatan, pilihan gaya hidup juga menjadi pendorong utama. Pola hidup sehat, tren olahraga, kesadaran mental health, serta budaya "glow up" telah mengubah cara mereka memandang tubuh. Rokok, yang dulu dianggap keren, kini dipandang sebagai penghambat produktivitas dan kebugaran. Bahkan di banyak komunitas muda, merokok mulai dianggap "tidak keren".