Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terselimuti Sikap "Muthmainnah"

8 Februari 2021   16:24 Diperbarui: 8 Februari 2021   17:15 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: @pieu_kamprettu

Muthmainnah sering dimaknai sebagai sikap ketenangan. Ketenangan itu sendiri tidak lantas identik dengan sebuah sikap tenang atau diam. Karena muthmainnah bisa meliputi berbagai sikap, bahkan dalam ketenangan itu sendiri yang diciptakan oleh diri. Ketika kita tenggelam dalam lautan, kurang tepat jika kita mengambil sikap berdiam diri kecuali ingin mati. Atau ketika kita berada dalam ancaman tanah longsor, tidak mungkin kita bisa berdiam diri ataupun santai agar diri tak tertimbun tanah.

Muthmainnah tak lantas kita mesti santai untuk menghadapi berbagai kemungkinan keadaan. Syukur-syukur kita nantinya bisa tetap muthmainnah ketika tenggelam atau menghindari potensi ancaman terhadap keselamatan nyawa, kemurnian jiwa, ataupun keamanan martabat. Bahkan, dalam sikap-sikap negasi, seperti marah ataupun sedih, kita harus bisa melatih diri agar kesadaran muthmainnah ini tidak lepas. Karena bagaimanapun juga, segala sikap negasi pun merupakan bagian dari kita yang tidak bisa kita hilangkan selama kita masih hidup.

Sebenarnya muthmainnah sendiri merupakan sebuah hasil dari sebuah proses. Atau sebuah jawaban akan pertanyaan yang muncul dalam diri. Kemungkinan lain, muthmainnah sendiri merupakan eskalasi dari tingkat-tingkat pembelajaran yang telah dilalui. Yang mana segala sifat ini memiliki karakter arif atau dengan kata lain hanya diri sendiri yang bisa merasakannya. Karena ketika sifat ini ditimpalkan kepada orang lain, belum tentu lainnya akan memiliki porsi, takaran, atau rasa yang sama, sekalipun penyebutan istilahnya sama.

Kita sudah banyak mendapati berbagai rasa, misalnya saja manis. Kita semua pasti akan mengetahui manis itu seperti sama. Tapi apakah kita bisa menjelaskannya? Sehingga semua memiliki satu pemahaman dan standar pemaknaan kata yang sama terkait rasa manis itu? Tidak bisa. Rasa manisku dan rasa manismu beda. Rasa manisku bisa saja dari gula, dan ternyata rasa manis yang engkau dapatkan bukan dari gula. Akan tetapi, kita sepakat bahwa di antara keduanya sama-sama manis.

Belum lama ini, saya diingatkan tentang istilah "eling lan waspodo" atau umumnya sering dimaknai sebagai iman dan taqwa. Semua pasti sudah memahami dan mengetahui apa itu iman dan taqwa, namun apakah kita bisa memastikan bahwa diri kita sudah pasti selalu beriman dan bertaqwa? Lantas, siapa yang bisa memastikan hal tersebut kalau nyatanya diri ini pun tidak sanggup.

Ketika saya mendapatkan nasihat tersebut, saya yang orangnya ndableg atau nakal, justru nyelonong mencoba menabrak batas. Nasihat itu merupakan sebuah pertanyaan, yang mana saya secara tidak langsung dirangsang untuk mencari jawabannya. Saya mencoba memakai segala jenis pola pikir beserta perhitungannya. Saya tidak bisa berhenti jika hanya karena diingatkan tentang hal tersebut karena segala nasihat itu merupakan ahwal yang bersifat dinamis. Sebaik-baik apapun manusia berusaha menjaganya, tetap segala kehendak berada di tangan-Nya.

Memang, kita memiliki kebiasaan kalau mendapati penglihatan atau pendengaran yang baik, kita selalu ge-er bahwa itu "saya". Akan tetapi sebaliknya, jika kita mendapati penglihatan atau pendengaran yang tidak baik, itu pasti bukan "saya". Seolah-olah self-defence atau pertahanan diri itu muncul tidak hanya berupa tingkah laku atau kata-kata, melainkan sudah terpantik ketika di pikiran kita masing-masing. Sadar ataupun dalam keadaan tidak sadar.

Semua kondisi tersebut membutuhkan alat yang sering kita beri nama sebagai ilmu. Sedangkan ilmu itu tidak akan bisa melekat atau mungkin saja hilang ketika kita tidak mengamalkannya. Oleh karena itu selalu ingat dan waspada bisa menjadi pondasi untuk menopang segala sifat yang ada dalam diri yang terselimuti oleh muthmainnah.

Dan itu semua bukan capaian yang bisa disamakan satu dengan yang lainnya. Semua itu akan nampak seperti rasa yang mudah sekali hilang apabila kita tidak berupaya untuk mendapatkannya. Dan segala kenikmatan itu dinamis, bergetar, mengikuti alur atau pola kehidupan yang kita bentuk sendiri.

Kita semua pengembara, kita semua sama-sama manusia, kita semua sama-sama membutuhkan makan-minum, dan teman seperjuangan karena kita sendiri merupakan makhluk sosial. Jangan pernah merasa hebat atas apapun yang engkau dapatkan atau segala sesuatu yang diwariskan kepadamu. Jangan mudah "merasa", kalau itu hanya akan membuatmu lelah. Letakkan, tenanglah!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun