Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akhir Sekaligus Awal Menuju Keabadian

8 Desember 2020   16:20 Diperbarui: 8 Desember 2020   16:25 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/alex-ivashenko

Ini merupakan akhir dari rubrik MYH ini, yang mungkin saja akan menjadi langkah awal bagi siapa pun yang terpantik olehnya. Kata-kata yang terangkai atas buah pemikiran dari judul yang pertama hingga terakhir, anggap saja semua merupakan pertanyaan. Semuanya merupakan gerak yang menumbuhkan. Bahkan, kalaupun gerak itu tak tertuju atau tak ada jawaban, bisa jadi justru tidak ada jawaban itulah merupakan jawabnya.

Dalam sebuah forum rutinan kemarin ada yang menanyakan tentang hubungan cinta dengan logika. Apakah cinta membutuhkan sebuah bukti yang dapat diterima dengan logika? Mengapa cinta seperti menuntut pembuktian? Lalu, ketika tidak ada jawaban pembuktian bahkan balasan, apakah rasa cinta itu akan hilang? Apakah agama belum cukup kita perdagangkan, hingga cinta pun ikut di-transaksional-kan?

Rasa-rasa yang dialami seseorang merupakan sebuah anugerah atas pengalaman yang sedang menjadi salah satu sudut pemandangan kehidupan yang sedang dinikmatinya. Baik itu cinta, bahagia, pilu, lara, dsb. Hanya saja, mengapa kita sering merasa bisa mengendalikannya? Saat kita sedikit saja mencoba mengendalikan, bisa berarti kita kehilangan kesempatan untuk menikmati sebuah anugerah. Dan kita tidak akan pernah bisa mengendalikan rasa itu, kecuali pikiran kita bisa memanipulasinya lewat kata-kata ataupun gesture tubuh yang sedikit diubahnya.

Itulah yang sedang terjadi, aku sangat pintar memanipulasi atau memodifikasi kendaraan raga ini, agar tidak terlihat sebagaimana mestinya. Semakin banyak hijab-hijab prasangka itu menutupi diriku, aku merasa lebih aman. Dunia ini memang menjadi sebuah panggung pertunjukan untuk selalu bersembunyi dari inti kata-katanya. Apalagi dalam tatapan pandangmu, yang menjadi kelemahanku.

Malam yang hangat ini selalu menjadi satu-satunya caraku menyapamu. Jika dalam setiap gerak langkah atau pertanyaan, aku mendapati sesuatu yang menyenangkan, hal tersebut belum cukup membuatku ingin mengucap kasih kepadamu. Begitupun sebaliknya, jika langkah-langkah kecil ini memberikanku pengalaman tidak menyenangkan, lantas tak membuatku segera berucap kata maaf. Menyenangkan atau tidak menyenangkan, bukan menjadi sesuatu yang aku tuju dalam kehangatan malam yang tersaji.

Rasa duka atau bahagia tidak bisa lagi dijadikan alasan bagiku berhenti menggerakkan pertanyaan-pertanyaan kepada semesta. Pilu ataupun tawa tak membuatku terpancing untuk mengubah kebiasaanku menyapamu. Meskipun, ada atau tidak adanya kehadiranmu juga tak lantas menjadikanku kehilangan rasa cinta kepadamu. Bagaimana lagi aku bisa menyatakan cinta jika engkau sendiri yang memberikan cinta ini kepadaku?

Karenamu aku belajar kelembutan melalui keheningan kata di antara kita. Karenamu aku banyak belajar kerendah-hatian, melalui segala pemberianmu. Jadi apa pun bentuk jawabannya, itu semua tergantung gerak pertanyaan kita selama ini. Dan aku selalu berhati-hati, jika suatu saat ujian itu datang aku melupakan rasa yang telah dianugerahkan,  "maka ketika penderitaan Kami kirimkan kepada mereka, mereka tidak merendahkan diri, melainkan hati mereka menjadi semakin keras " (6:43)

Api tidak akan tercipta tanpa udara. Asap-asap yang mengepul itu pun tercipta bukan karena api, melainkan ranting-ranting yang terbakar. Perhatikan, sudah berapa kali kita menikmati bunga itu bermekaran meski dalam waktu yang berbeda. Tidak semuanya logis dan bisa dipahami, bahkan untuk mengenal sebenar-benarnya cinta, logika kita takkan pernah bisa menundukkannya selama detak jantung masih terdengar.

Ketika seorang lawan menendang bola ke arah gawang yang aku jaga, hal tersebut merupakan pertanyaan yang sedang diajukan. Berhasil atau tidak aku menangkap bola agar tidak masuk ke gawang, itulah jawaban. Sekarang tinggal, di manakah posisi aku dan kamu berada?

Dan perlu kamu ketahui, ketika cinta itu datang, ia tak lantas mendatangkan kebahagiaan. Bahkan, jika kebahagiaan itu yang dirasa, bisa jadi itu merupakan sebuah istidraj. "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (6:44)

Maka, sebegitu enggankah engkau jika lebih memperhatikan gerakku? Meski keberanian itu bisa menjadikan potensi tuntasnya penantian, dan menjadikannya akhir sekaligus awal menuju keabadian. Selamat. Berjuang. ^^

***

8 Desember 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun