Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Satu Langkah Lagi"

14 September 2020   16:05 Diperbarui: 14 September 2020   16:13 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/jukan-tateisi

Malam demi malam terus berlanjut sebagaimana hitungan angka-angka itu semakin bertambah. Menandakan sejumlah jumlah ataupun usia sebuah perjalanan hingga akhirnya bertahan menjadi sebuah peradaban. Menyongsong batas demi batas yang banyak mengajarkan tentang jengkal-jengkal kebenaran ataupun lapisan-lapisan keindahan.

Kita sudah banyak mengetahui dan memahami, bahkan mengalami banyak perubahan yang acapkali mendewasakan, baik secara pemikiran, tutur kata ataupun perilaku yang terus bertambah baik demi belajar tentang bagaimana memiliki akhlak yang baik seperti yang telah diajarkan oleh para Rasul.

Sekali-kali bukan karena kefakiran ilmu, justru badaya yang terjadi dewasa ini berkembang begitu pesat disebabkan oleh kekayaan ilmu yang telah dicapai, kecanggihan teknologi yang semakin mutakhir, atau kealiman manusia-manusia yang semakin memungkinkan kita untuk dapat menyimulasi kholodina fihaa abadaa secara langsung.

Namun mengapa, yang terjadi sebenarnya kenapa amat jauh dari kemungkinan tersebut? Apakah ada yang salah dari ilmu-ilmu yang telah dimiliki? Adakah kecanggihan teknologi yang sudah banyak ditemukan lebih banyak membuat perbaikan atau kerusakan? Mungkinkah kealiman-kealiman yang banyak ditunjukkan oleh para hamba-Nya benar benar merupakan buah dari keimanan dan ketaqwaan?

Ilmu-ilmu itu banyak berserakan dimana-mana. Banyak orang mengetahui dan memahami, namun tak melekat di dalam output pengamalannya. Banyak orang mampu menjelaskan ilmu-ilmu yang sebenarnya memilki keistimewaan yang luar biasa, namun penjelasannya tak ada korelasi dengan laku hidup yang dijalani sehari-hari.

Karena pada akhirnya, ilmu itu hanya dipakai untuk menuntaskan dahaga kebutuhan dan keinginannya. Selama ini, ilmu itu dicari demi sebuah maqom-maqom tertentu, bukan kerendah-hatian.

Benar apabila kemutakhiran teknologi akan mempermudah pekerjaan-pekerjaan manusia. Akses informasi juga semakin cepat disampaikan dan lebih mudah diakses. Tapi, kebijaksanaan atau justru budaya nyinyir yang akhirnya terlahirkan?

Tentu, hal ini tidak dapat digeneralisir dengan berbagai banyak faktor-faktor pembentuknya. Toh, semua yang negatif tetap berdampingan dengan yang positif, begitu juga sebaliknya.

Mengenai kealiman, banyak manusia-manusia mengumbar cintanya terhadap diri sendiri. Sedangkan hal tersebut sesungguhnya menumbulkan sebuah pertanyaan, sudahkah kamu mengenal diri kita sendiri sehingga diri ini pantas untuk dicintai? Bukahkah pertanyaan atas diri tak ubahnya sebatas hasrat yang ingin segera terlampiaskan

Daripada lebih berhasrat untuk menyatakan cinta kepada diri, bukankah kita mesti banyak belajar berhitung tentang seberapa banyak kita mendapat peringatan bahwa kita hanya orang-orang yang dholim dan bodoh?

Hal itu semakin menambah pelik kerumitan, namun juga berbarengan dengan meningkatnya keindahan semakin kompleksnya citra-citra perbedaan demi tercepainya sebuah kebenaran.

Sedikit saya mengambil pesan yang belum lama ini diungkapkan oleh salah seorang guru. Beliau berkata bahwa kita tinggal menunggu salah satu langkah lagi. Meski kebenaran hanya Allah yang mengetahuui.

Satu langkah karena mungkin kita dianggap telah siap untuk menjadi tonggak perubahan. Bahkan, bisa dibilang satu langkah tersebut akan menjadi awal dari titik pusat peradaban baru tidak hanya sebatas negeri, melainkan dunia. Karena beliau melihat kita telah siap dengan kemungkinan-kemungkinan dengan banyaknya keistiqomahan akan peran-peran yang selama ini telah banyak diidentifikasi dan dipelajari.

Selain itu, beliau berkata satu langkah lagi mungkin karena kita telah banyak berpuasa atau menahan diri atas kerakusan dan ketamakan  sitem-sistem yang tidak berlandaskan dengan asas pertama hingga kelima. Kita telah terbiasa untuk memilih tidak memakan dunia yang sudah ada di depan mata dan memilih untuk lapar dalam keterasingan.

Jika menapaki 4 syarat perubahan yang pernah disampaikan oleh beliau, kehadiran Covid-19 telah sesuai dengan syarat ketiga yang merupakan wujud dari sebuah wabah setelah revolusi dan perang saudara. Tertinggal 1 syarat yang bisa jadi merupakan satu langkah sebelum perubahan itu terwujud, yakni sebuah guncangan yang besar atau bisa disebut bencana alam.

Adakah yang menginginkan hal tersebut? Tentu saja tidak. Kita masih banyak memiliki orang-orang yang begitu dikasihi dan begitu kita lindungi. Kita tentu tidak tega melihat kesengsaraan dan ketakutan orang-orang yang dikasihi terlepas dari bagaimana sifat dan kebiasaan hidupnya selama ini.

Atau mungkin hal tersebut bisa ditawar dengan disegerakan dalam skala-skala perubahan yang lebih kecil,  baik dalam lingkungan rumah tangga, desa, kota, atau lingkungan yang lainnya. Kita telah banyak memiliki bekal tinggal butuh sebuah permantik.

Pemantik dari berbagai macam silmi untuk memacu laju percepatan akan suatu perubahan yang selaras dengan tugas-tugas rahmatan lil 'alamin.

Ada atau tidaknya sebuah perubahan bukan suatu hal yang dikhawatirkan. Dalam tiap skala waktu apabila kita jeli, selalu mengandung getaran-getaran lembut yang membawa suatu perubahan. Karena mayoritas, perubahan itu benar-benar tidak merubah.

Perubahan hanya membuatnya kembali ke kebiasaan seperti semula. Kelalaian dan keingkaran. Atau manusia benar-benar telah melampaui batas.

***

Kita telah senantiasa bersungguh-sungguh dan setia melakukan kebiasaan--kebiasaan yang jauh dari wajar melalui sapaan-sapaan untuk meminta pertolongan yang sering disebut wirid atau sholawatan. Hal tersebut menjadi medan juang sendiri bagi yang terasingkan dan jauh dari keeksistensian.

Apabila adzab mampu berlaku bagi lingkungan sekitar, hal ini mungkin berlaku juga bagi keberkahan dan keselamatan lewat wirid yang terlafadzkan. Sang Guru berkata, ada 3 kemungkinan yang membuatnya qobul, bisa karena wiridnya memang bagus, bisa karena seseorang yang benar-benar tulus hingga mendapat perhatian-Nya.

Atau kemungkinan yang terakhir adalah sebuah kebenaran yang hanya Allah yang mengetahui dan menjadi hak prerogatifnya untuk memberi perlindungan dan keamanan.

Lalu, kemanakah langkah itu akan tertuju? Kelahiran atau kehancuran? Namun, bukankan salah satu adanya makna kelahiran karena adanya kehancuran (kematian)? Wallahu 'alam bish-shawab.

14 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun