Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dengan Agama, Belajar Mengatasi Limitasi Nalar

25 Agustus 2020   16:36 Diperbarui: 25 Agustus 2020   16:33 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para penari Komunitas Lima Gunung di Halaman Rumah Maiyah, Kadipiro/dokpri

Beberapa seniman dari komunitas Lima Gunung pun diberikan waktu untuk merespon. Salah satunya sedikit memberikan gambaran tentang nalar-nalar yang tidak nalar yang dialaminya, terutama ketika mengamati dunia media sosial. Parahnya, ketidaknalaran tersebut menjadi mayoritas pembahasan yang banyak menarik perhatian. Padahal, media tersebut memiliki fungsi salah satunya sebagai media informasi.

Mbah Nun sedikit memberikan respon terkait hal tersebut. Mbah Nun menekankan bahwa manusia perlu banyak belajar kepada semut-semut yang selalu setia menjadi dirinya sendiri. 

Di media sosial, paradigma kita terlalu banyak termanipulasi oleh capaian-capaian yang dialami oleh orang lain. Sehingga menyebabkan inkonsistensi akan siapa dirinya. Dan wajar jika manusia-manusia mulai kehilangan otentisitas dan terombang-ambing dalam kebingungan tanggung jawab peran yang menjadi tugasnya, terutama sebagai manusia.

"Yang bisa berpikir tidak hanya akal, namun juga hati." Kata Mbah Nun.

Mas Sabrang juga memberikan respon terkait apa yang disampaikan oleh Mbah Nun. Menurut Mas Sabrang tidak mungkin kita memiliki ingatan tanpa keberadaan otak sebagai memori. Namun, yang memiliki ingatan tidak hanya otak. Kita juga memiliki memori akal, memori sel, memori DNA, dan juga memori hati. Hati memastikan manusia memiliki ingatan untuk kembali ke awal penciptaan.

Al-Qur'an merupakan suatu hidayah. Al-Qur'an sendiri yang memuat firman-firman Tuhan tidak menggunakan bahasa Arab. Bahasa meupakan suatu unsur, begitu juga dengan komponen-komponen lainnya. 

Oleh karena itu, manusia memiliki banyak kemungkinan perbedaan dalam menafsirkan firman-firman yang tertulis. Bahkan, ayat-ayat itu tidak hanya sekedar tercatat pada apa yang tertulis. Begitu banyak ayat-ayat yang tidak tertulis yang kita temui sehari-hari yang seharusnya juga kita maknai.

Agama dan segala aturannya yang lebih mengutamakan akhlak, memiliki tujuan untuk memastikan peradaban di masa depan akan baik-baik saja. Supaya kita mahfudz dan terus-menerus mendapatkan bimbingan-Nya.

Salah satu hiburan sastra yang ditunggu-tunggu ketika Mocopat Syafaat, yakni puisi dari Mbah Mustofa W. Hasyim, dapat dinikmati. Jika biasanya puisi ini dibacakan ketika waktu menunjukkan 2/3 malam, namun pada kesempatan edisi Agustus ini dimajukan menjadi sekitar 1/3 malam karena durasi Mocopatan yang juga lebih dipersingkat. Puisi yang diberi judul "Zig-Zag" mampu menghadirkan gelak tawa setelah disajikan bahasan yang sedikit berat terkait otak, akal, dan nalar.

Di akhir sesi, Mbah Nun sempat memberikan sangu pertanyaan, "Apakah nalar atau science sudah bisa menjawab Covid?"

Kita semua memahami bahwa nalar manusia belum mampu menjawab. Akan tetapi, menurut Mbah Nun dengan agama, kita diberikan beberapa opsi untuk memilih sikap sabar dan tawakal. Oleh karena itu Mbah Nun juga berpesan bahwa kita harus melengkapi akal dengan agama. Kita hanya mengetahui keagungan "shaihatan wahidatan" yang hanya bisa menjawab. "Betapa berkuasanya Allah atas segala sesuatu." pungkas Mbah Nun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun