Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berputus Asa dalam Pembuktian

3 Juli 2020   16:28 Diperbarui: 3 Juli 2020   16:26 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/tony-rojas

Negara ini seolah lupa bahwa poin dasar dari nilai landasan negara, telah mereka lupakan. Mereka pun seolah-olah menyembah Tuhan masing-masing. Mereka membuat sebuah tipu daya, tapi Dia-lah sebaik-baik perancang tipu muslihat. Kekuatan absolut itu pun telah hilang sedikit demi sedikit sebagai akibat dari sikap mereka sendiri dengan "seolah-olah" menyembah.

Agama lantas dipolitisasi bagi mereka-mereka yang berhasrat akan keberadaan diri atau golongan. Dengan banyak mengatasnamakan Tuhan, namun sikap dan kelakuan tak mencerminkan akhlak yang baik. Bagaimana akhlak yang baik itu? Tanyakanlah kepada hati kita masing-masing. Jauh di kedalaman hati, terdapat sebuah kemurnian yang sering menjadi jalan para penerima karomah ataupun ilham agar dapat mengetahui kehendak-kehendak-Nya.

Ya semua adalah subjektivitas dari saya sendiri yang masih sempit cakrawala pandangnya dan belum memiliki kedalaman berfikir. Tidak memiliki mental dan tidak tega melihat perkembangan yang dirasa pemegang kuasa menuju kemajuan. Padahal dengan mempertimbangkan labirin keadilan dan kesejahteraan, semua itu justru semakin membatasi ruang gerak kaum proletar dan semakin mengukuhkan kartel-kartel kaum bourjouis.

Tapi hebatnya, penduduk negeri ini tak lantas merasa menjadi tawanan. Mereka masih bisa menertawai keadaan di sela-sela umpatan kepada para pemegang mandat kekuasaan yang jarang berpihak kepada rakyat kecil. Mereka memahami telah dipaksa untuk memilih dalam pesta rakyat yang sebenarnya justru menjadi siklus bencana yang banyak menimbulkan mudharatnya. Tapi sekali lagi, penduduk ini menaati dan menghargai hukum yang berlaku, sekalipun itu sekedar wujud bebrayan.

Mereka bukan tawanan para penguasa, mereka adalah tawanan Tuhan yang tidak pernah takut menghadapi keadaan apapun. Bahkan tidak merasa gelisah akan ketidakjelasan masa depan. Mereka bahagia karena sadar telah menjadi bagian dari segala kehendakNya. Terkadang mereka menertawakan para penguasa yang merasa telah memimpin meraka dan bisa berbuat seenaknya sendiri. Padahal justru sebaliknya, ruang gerak mereka tidak bisa bebas dan sangat penuh dengan pencitraan.

Dalam sila pertama sesungguhnya kita mampu memahami, bahwa Negara atau Negeri bukanlah sesuatu yang dikuasai oleh orang-orang tertentu. Mayoritas masih menganggap Tuhan Yang Maha Esa sebatas formalitas sehingga mereka atau golongan-golongan tertentu masih bisa seenaknya mencari keuntungan dengan mengambil hak-hak rakyat. 

Mereka mengatasnamakan demi pembangunan, akan tetapi di saat yang bersamaan mereka juga manambah pundi-pundi kantong pribadi, bahkan tak jarang dari mereka sesumbar bahwa hal yang mereka lakukan adalah salah satu wujud "kerja cerdas". semakin terbahak-bahaklah kami, kaum-kaum protolan melihat pemandangan saat orang seperti itu sedang berorasi.

Kita seharusnya beruntung masih diperkenalkan dan dipertontonkan dengan permainan-permainan politik seperti itu. Salah jika kita berharap akan kebijakan yang adil dan bijaksana jika sistem yang berjalan masih belum menomorsatukan sila yang pertama. Jika sila pertama saja belum tuntas, bagaimana 4 sila berikutnya? Perjuangan tidak bisa dengan melakukan perlawanan fisik, terlebih jika kritik tidak pernah terbalas malah terkadang justru menjadi bumerang.

Negara adalah bagian dari desa saya, bukan sebaliknya. Karena negara tidak mungkin ada terkecuali ada keberadaan desa-desa pendukung. Begitupun dengan kemashlahatan masyarakat luas, merupakan bagian dari kemashlahatan diri, karena standar kemashlahatan setiap orang tidak bisa disamaratakan satu dengan yang lainnya. 

Setidaknya kita semua bisa belajar untuk konsekuen dan disilin terhadap diri sendiri. Memiliki kesadaran untuk menyepakati antara perkataan dan perbuatan. Masih banyak dari sebagian itu masih dholim terhadap diri sendiri, ketika mereka ingin memerdekakan masyarakat umum dari kedholiman, bukannya jadi rancu?

Jika kita menjadi generasi yang sadar pun, tak lantas kita bisa mengalami buah dari kesadaran itu. Bisa dibutuhkan beberapa generai mungkin untuk mewujudkan keadaan yang diinginkan. 

Dan sesungguhnya sila pertama merupakan kunci untuk dapat kembali menemukan jati diri. Dan selalu menyadari bahwa dalam keadaan apapun, kita memiliki Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semua otoritas dan kebijakan yang dibuat oleh manusia, tidak akan mampu melebihi keadilan dan kesejahteraan yang telah diberikanNya.

Hanya saja kita terkadang kurang sabar melatih prasangka baik. Yang pada akhirnya seperti sudah berputus asa akan Kasih Sayang yang selalu menaungi dengan penuh rahmat. Adakah satu kejadian pun yang luput dari kuasaNya? Berbahagialah jika telah menyadarinya. Kesadaran itu mudah didapat, tapi itu belum cinta. Karena Tuhan akan selalu menuntut bukti atas cinta para hamba-hambaNya. Celakanya, kita lebih sering memilih berputus asa dalam pembuktian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun