Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lupa Berendah Hati dalam Segala Kuasanya

2 Juli 2020   16:37 Diperbarui: 2 Juli 2020   16:38 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya sudah tidak ada lagi masalah jika kacamata pandang telah mengetahui segala sesuatu yang menggerakkan. Sekalipun ilmu-ilmu pengetahuan banyak menemukan pintasan-pintasan menuju zaman yang lebih baik, tapi segala data tersebut belum mampu menggantikan iman yang telah tertanam sedemikian rupa dengan begitu banyak wujud, rupa, dan pola yang termanifestasi melalui kebiasaan manusia sehari-hari.

Terlepas dari fenomena pandemi konspirasi, maling, ketahanan pangan, yang informasinya sangat masif hingga lebih menakutkan dan mengancam dari pandemi itu sendiri. 

Beberapa waktu yang lalu, mayoritas masyarakat mengikuti himbauan untuk di rumah saja. Yang mengakibatkan dampak yang signifikan bagi keberlangsungan ekonomi, meski semesta pada akhirnya bisa tertawa sejenak.

Manusia merasa sanggup untuk mengalahkan, sementara senjata dan strategi yang dipersiapkan sangat minim. Dengan komando yang berbeda-beda sehingga kesanggupan alih-alih tetap ditegaskan, justru dipaksa menelan lidahnya sendiri menjadi sebuah kepasrahan. 

Semakin berjalannya waktu, manusia semakin belajar mengenal sesuatu yang pada mulanya dianggap sebagai musuh lambat laun beralih menjadi sesuatu yang mesti dibersamai.

Hal tersebut semata-mata tidak dilampai atas dasar ketidakmampuan. Manusia mengalami sebuah proses penemuan-penemuan melalui informasi dan literasi-literasi ilmu untuk memetakan sesuatu yang dianggap mengancam. Manusia juga berproses menimbang-nimbang kekuatan dan kemampuan akselerasi diri untuk menaklukan atau memusnahkan bahaya yang membahayakan keselamatan. 

Namun, waktu akhirnya menjawab bahwa semua itu adalah sebuah proses intelektualisasi diri dari kesombongan dan kesembronoan menuju ketidakmampuan diri. Bahwa diri ini hanyalah seorang hamba.

Semua mengalami perjalanan proses memaknai, proses upgrade diri bagi mereka yang memandang setiap pengalaman adalah lahan untuk belajar. Bukannya sibuk memaksakan standar-standar nilai kebenaran subjektif yang dirasa telah jangkep dalam mengatasi segala problematika perjalanan hidup yang dihadapi.

Itulah warna, itulah keindahan, sekalipun banyak yang berlarian menghindarinya dengan berlomba-lomba mempermainkan semesta demi pencarian cinta kepada diri sendiri yang semu. Karena hanya hasrat kepuasan yang nampak. Bukankah cinta itu menyatukan? Bukan malah menegaskan batas untuk lebih memperjelas "aku"?

Beruntung, Simbah tak lelah menuturkan asihnya melalui ilmu-ilmu yang selalu dibagikan hampir disetiap hari-harinya. Setidaknya, tetes ilmu dari Simbah merupakan sebuah pertemuan dari sekian banyak pertemuan yang diijinkan untuk saling menemukan dan terus berjalan tanpa tendensi apapun kecuali ketulusan untuk membersamai.

Ketika kita sudah diberi penegasan bahwa "Sesungguhnya Tuhan adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu", namun manusia diam-diam selalu menguasai segalanya dengan ilmu dan pengetahuan yang tak pernah puas. Sejatinya ilmu tidak membuat manusia semakin merendah, melainkan malah menambah busung dada-dada keberadaannya.

Padahal, keberadaan itu berkebalikkan dengan kunci nilai untuk berdaulat melakukan apa saja. Tentu, dengan banyak berpikir, kita dapat banyak menemukan formulasi untuk menyelaraskan laku dengan sendiko Simbah tentang "takhollaqu biakhlaqillah", atau berperilakulah seperti Tuhan. 

Tapi, kita enggan atau eman untuk menghancurkan diri. Eman karena sudah dikenal dan diikuti oleh banyak orang. Sedang meniadakan atau menghancurkan diri menjadi jalan untuk berdaulat dengan iradah hingga selaras dengan qudroh-Nya.

Dan itu adalah jalan panjang, bahkan mesti melakukan pertempuran terberat melawan ego dan nafsu sendiri. Menghancurkan bukan lantas mati, meniadakan bukan lantas hilang.

Dan apakah semua manusia sanggup? Atau jika sanggup, apa itu merupakan yang terbaik? Jika melihat keadaan sekarang dengan banyak yang sadar dan merasa itu menjadi hal yang baik, apakah keadaan juga semakin membaik atau justru bertambah riuh?

Orang-orang baik terus bergerak, bahkan tidak dianggap hingga disangka mereka hanya diam. Terlebih, orang-orang terlanjur angkuh dan enggan saling berendah diri setidaknya untuk mulai belajar mendengarkan, dari yang selama ini dianggap diam. Jika ia hanya bergerak, kita bisa memperhatikan pola aktivitasnya. Berinisiasi membaca dan mempelajari, meski demi mendapat bekal tawadhu' bukan sesuatu yang mudah.

Meski, ilmu yang didapat jika tidak dimaknai dengan baik, justru akan meninggikan hati dan membuat diri lupa, bahwa diri ini hanya seorang hamba di dalam segala kuasaNya.

2 Juli 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun