Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ruang Belajar Itu Bernama Kehilangan

18 Maret 2020   16:27 Diperbarui: 18 Maret 2020   16:43 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa harus berbisyaroh nyawa? Hingga menyadarkan sebuah konsep ataukah model mengenai cara berfikir yang mau tidak mau mesti didapat. Terlebih dengan dukungan teknologi, akses untuk mendapatkan informasi semakin mudah. Meski pada akhirnya banjir informasi itu datang. Jika tidak siap, hanya hanyut terombang-ambing dalam ketidakpastian bahkan sangat memungkinkan membuat dirinya tenggelam.

Semua yang didapat tidak berimbang antara informasi yang positif dan negatif. Terkadang diri lupa untuk menakar kapabilitas diri dalam menerima informasi, mendadak semua menjadi ahli atas apa yang sedang terjadi. Dengan hak-hak hidup yang mesti diperjuangkan, meski kerinduan itu datang tanpa mengenal kapan, dimana, oleh sebab apa.

Perlombaan dalam pengambilan sikap yang paling benar seakan menjadi kompetisi untuk segera dipastikan. Atau akan semakin banyak yang hanyut dan tenggelam. Dan semua memiliki kebebasan dalam menafsirkan keadaan sebagaimana ilmu yang telah dimiliki mampu mempelajari informasi yang telah didapat.

Budaya model pembelajaran fakultatif justru menjadi tembok penghalang untuk menyatakan kebebasan berpendapat. Yang dianggap bukan ahlinya, hanya sering dipandang sebagai omong kosong. Padahal, peringatan itu datang berkali-kali kalau ilmu itu jangan samapi melebihi akhlak. Kenapa? Karena, pemimpin sesungguhnya adalah seseorang yang sering diprasangkai bodoh. Bukan mereka yang menduduki kursi-kursi strategis dalam peta hierarki kemasyarakatan.

Filter yang digunakan dalam kacamata pandang pun masih terkandung kebenaran diri untuk mennguatkan pendapat pribadinya. Dan, budaya ketidakmandirian dalam berfikir atau menentukan sikap masih sangat tergantung kepada tokoh-tokoh tertentu. Mereka mencari-cari jawaban dengan pertanyaan seolah hanya untuk menguatkan jawaban yang telah dibawanya.

Hal-hal seperti inilah yang menjadi keberangkatan awal dalam penegasan kembali bahwa begitu tipisnya beda antara takkabur (sombong) dan tawakkal (berserah diri). Jika bisyarohnya nyawa, seolah-olah mereka berani mengungkapkan jika hidup dan mati karena Tuhan, tapi sama sekali tidak melakukan ijtihad sebagai suatu bentuk upaya untuk saling menyelamatkan dan saling menjaga. Kebijakan dianggap offside bahkan bertele-tele tanpa tabayyun terlebih dahulu terhadap respon atas berbagai kemungkinan penentuan sikap atas bisyaroh nyawa tersebut.

Syahwat manusia tentu saja masih ingin menikmati hidup dengan segala tendensi akan hak-haknya. Dan mungkin hanya bisyaroh nyawa yang akhirnya menjadikan seseorang lebih mengakhirati kesempatan hidupnya.  Dan jangan sekali-kali menyanggah untuk sesuatu yang melibatkan peran Tuhan dalam segala cara berfikirnya. Meski dengan ilmu setinggi langit yang telah dienyamnya kalau tidak mau berprasangka. Karena asal mula prasangka itu sendiri berasal dari ilmu yang dimiliki sehingga seseorang merasa atau rumongso benar.

"Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati". Penggalan ayat tersebut menjadi bekal untuk mu'aqabah atas keterlibatan diri dalam skenario semesta yang sedang terjadi. Terkadang, prasangka justru menjadi makanan khusus yang menjadi energi tersendiri untuk dapat lebih merasakan cinta-cinta yang tersebar lembut di belantara ketidakjelasan.

Sudah pasti jika hidup penuh dengan ketidakjelasan. Segala takut yang sedang dialami pasti mengandung sebuah harap untuk terbebas dari dari rasa takut. Padahal, ketika takut itu hilang, muncullah harap yang sudah pasti mengandung rasa takut. Ketidakpuasan atas apa yang diterima membuat nafsu seolah memiliki hak-hak atas segala kenikmatan yang diinginkan selama hidup. Seperyi itulah dinamika kehidupan yang menuntun menuju kemuliaan.

Dan pesan kedua dalam kalimat terakhir Tajuk menangkap pesan Tuhan dalam Covid-19 oleh Syaikh Kamba, yang menyatakan bahwa itulah yang terjadi jika agama dipisahkan dari esensinya sebagai laku kebaikan, akhlak, dan cinta. "Mereka akhirnya lebih mementingkan loyalitas kepada otoritas keagamaannya ketimbang loyal kepada ajaran-ajaran esensial agama itu sendiri. Akibatnya, kontribusi ahli-ahli agama pada kegiatan penanggulanan Covid-19 menjadi ironis".

Agama yang seharusnya lebih bersifat pengasuh dengan cinta yang terwujud dalam akhlak, menjadi bias. Peran Tuhan terhijabi oleh kompetisi keilmuan yang saling unjuk kebenaran. Pengambilan sikap itu mesti segera dilakukan. Jangan sampai kehilangan cinta untuk mensyukuri anugerah terhadap segala apapun yang terjadi. Sekecil atau selembut apapun itu, karena di setiap datang kesusahan, bersamaan pula datang kemudahan, dimana banyak terkandung hikmah didalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun