Mohon tunggu...
Tatiana Dayana
Tatiana Dayana Mohon Tunggu... Buruh - Makhluk Neverland

Aku bukan penikmat rindu, kopi, senja. Aku penikmat Kamu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Katak dalam Tempurung (Garasi 71, Kota Intan)

10 April 2020   18:50 Diperbarui: 10 April 2020   18:49 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cuaca kembali mendung. Sendiri dan sepi di Garasi begitu sendu. Kopi susu legit menambah candu menuangkan inspirasi. Sekian lama tak bersua bersama kerabat separuh otak ini seaakan berkarat. Semoga berlalu dan punah segala resah. Bertumbuhlah segala hal-hal baik. Segera pulih dari sakit semua manusia yang terjangkit.

Berdiam diri bagiku adalah meditasi dari segala redaman emosi. Melepas penat dengan ngopi adalah mengisi nutrisi imaji. Sandekala hampir tiba. Nirwana jingga dan rinai gerimis kian manis. Garasi sedang riuh dengan gelak tawa. Mungkin orang-orang perlu asupan bercanda dan tertawa. Sementara aku dilanda rasa bosan menikmati timeline social media yang penuh hiruk pikuk bahasan korona. Bukan tak peduli dan tak takut mati. Tapi otakku seaakan mati jika terus berdiam diri dan rebahan dikamar bekas kamar mandi.

Lirik-lirik Fiersa Besari dan Es Kopi Susu 71 seperti amunisi ampuh menemani sepi. Menjadi kuli seharian sedari pagi hingga sore menjelang hidup menjadi penuh dengan konsekuensi. Disatu sisi mimikirkan wabah yang kian merebak dan isi pikiran terjebak, disisi lain urusan perut tidak bisa dikongkalikong dengan isolasi diri.

Bagiku sisi positif virus ini mengajarkan diri untuk lebih bijak menjaga kebersihan diri, meskipun sisi negative berlipat lebih mencekit semua manusia dihampir seluruh belahan bumi. Inflasi menjadi salah satu yang paling tak kusukai, untuk saat ini. Konflik dingin pemerintah dan sipil, kabar narapidana yang akan dapat remisi ditengah bencana ini, kelaparan dan tertekannya psikologi karena dihasut kabar hoaks yang kian memuakkan. Seisi Negara sudah kupastikan kelimpungan.

Pandemi menjadi pelajaran. Namun, masih ada orang-orang yang tak punya hati mempertontonkan kerakusan dan keserakhan, Mereka membeli barang-barang dengan harga normal kemudian dijual dengan harga tinggi. Belum lagi, para freelancer, entrepreneur bahkan kuli seperti kami sendang sensi dengan inflasi dan isolasi.

Musibah dari wabah ini menjadi kompleks. Simfoni kelam dari sejarah umat manusia yang mengenal teknologi dan akrab dengan maya serta karib dengan kehidupan hedoniss yang sarat akan gaya dan filosofis. Jika 50 tahun lagi aku masih hidup, akan ku tuturkan masalah pandemic ini sebagai penghantar tidur atau sebagai bahan menjalin keakraban dengan cucu-cucuku.

Titik jenuh manusia memiliki batas. Ku lihat sekarang tidak banyak yang patuh dengan peraturan. Hal ini wajar, karena tidak ada kelanjutan sampai kapan rebahan nasional ini berakhir. Bagi yang rindu sanak saudara, anak, istri dan kolega ada hasrat kepedihan untuk bertemu. Bagi yang terbiasa nongkrong ada hasrat kepedihan untuk berbagi dan beretorika masalah kerja, bercanda dan curahan hati pribadi.

Bagi pelajar ada hasrat untuk bersekolah dan bertemu teman-teman. Paling miris adalah bagi pelajar yang akan menamatkan studinya, mereka tidak bisa menikmati pesta kelulusan seperti tahun-tahun sebelumnya. Paling tragis bagi mahasiswa, selain dituntut untuk kritis dalam segala masalah, urusan kuliah, pembayaran ukt, mau diwisuda, program kerja mahasiswa, segala yang maha dan siswa kegiatan mahasiswa hanya menjadi angan-angan dan baying-bayang.

Pikiran seketika maha luas berfantasi. Maha syahdu tempat ngopi. Duduk di pojokkan dan sendiri. Ilusi menari-nari. Garasi maha asyik. Mungkin psikometri orang-orang nadir sedang bertemu dalam sebuah galaxy.

Tak perlulah salah menyalahkan untuk keadaan begini, apalagi bersikap lebay menghadapi kasus ini. Hei bung, ini bukan hiburan.  Bukan apatis, tak kritis  dan menuhankan ego sendiri. Namun sakitku bukan hanya karena masalah pandemic. Melainkan sakit dipersekusi karena berbeda dan sendiri. Semua bertambah kacau karena mulutku tidak bisa terkunci melihat hal-hal yang tak enak hati. Jika hari kemarin mampu kokoh menentang yang tak enak hati. Hari ini malah meliarkan pikiran ku.

Begini,Tuhan tidak main-main memanage segala ciptaannya. Buminya, manusianya, hewan-hewannya, tumbuh-tumbuhannya, dan milik-Nya yang lain-lain. Semua mendapat bagian untuk dievaluasi dan dieliminasi dari muka bumi. Mengapa? Karena hukum hidup dan mati menjadi takdir. Setiap milik-Nya memiliki cara berbeda untuk dieksekusi. Kehidupan dari segala yang bernafas diseleksi. Kehidupan dari segala yang membutuhkan tanah-Nya, laut-Nya, udara-Nya dan segala-Nya. Kesampingkan dahulu segala yang tak penting. Insan yang diberi akal diberi cobaan untuk berbenah diri dan meditasi. Jika dulu kita mengkonstruk "rasa lapar" hari ini kita semua dikonstruk untuk saling memanusiakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun