Ketika sudah gadis, ceu Entat diajak oleh temannya untuk kerja di Jakarta sebagai pengasuh bayi tetapi hanya 3 bulan  saja, karena beliau bertemu dengan seorang lelaki yang bekerja sebagai buruh bangunan yang mengajaknya untuk menikah.Â
Pada tahun 1982 mereka menikah dan memiliki 4 orang anak, yang terdiri dari 3 orang laki-laki dan 1 anak perempuan. Ketika sedang hamil anak ke-4,  suaminya pulang kembali ke Jakarta  dan meninggalkannya sampai sekarang  tanpa menceraikannya.Â
Anaknya yang bungsu saat ini sudah berusia 23 tahun, walaupun sudah dihubungi tetapi suaminya tidak pernah mengangkat telepon dari anak-anaknya. Hanya satu kali suaminya datang yaitu ketika menjadi wali bagi anak  perempuannya pada saat menikah, sampai sekarang tidak ada kabar berita dari suaminya yang katanya sudah memiliki keluarga lagi di Jakarta.
Menjadi pemulung dan tetap ingin sedekah
Untuk menghidupi ke-4 anaknya setelah ditingal pergi  oleh suaminya, ceu Entat mulai menjadi pemulung. Semua anaknya di sekolahkan walaupun hanya menamatkan sampai SMP saja. Anaknya yang tinggal bersama beliau yaitu anak pertama dan anak bungsu, keduanya laki-laki.Â
Anak pertama sudah berkeluarga dan memiliki 3 anak, bekerja sebagai buruh bangunan dan kadang-kadang menjadi pengamen jalanan. Sedangkan anak bungsunya belum menikah, dia bekerja sebagai penjual tahu dan kadang-kadang bekerja sebagai buruh bangunan di Jakarta.Â
Sebenarnya semua anaknya sudah melarang ibunya untuk menjadi pemulung, tetapi beliau tidak mau menggantungkan hidup kepada anak-anaknya.
Menjadi pemulung dilakukan setiap hari Minggu sampai hari Kamis, sedangkan hari Jum'at waktunya digunakan untuk menyapu dan membersihkan jalan dari rumahnya sampai tempat kami bertemu tadi. Padahal jaraknya cukup jauh dan jalannya menanjak, saya tadi lupa bertanya berapa jam waktu yang diperlukan untuk menyapu jalan sampai kembali ke rumahnya.Â
Hari Sabtu pagi waktunya digunakan untuk pergi mengaji ke mesjid terdekat, ketika mengaji beliau selalu memasukan sedekah ke kotak infak yang ada di mesjid besarnya antara Rp. 3.000,00 sampai Rp 5.000,00.Â
Banyak ibu-ibu di mesjid yang melarang beliau untuk sedekah karena kasihan dengan kondisinya, tetapi beliau selalu menjawab bahwa dirinya walaupun orang yang tidak punya tetapi ingin sedekah seperti orang lain. Siang hari sepulang mengaji di mesjid beliau akan mencari kayu bakar, karena di rumahnya memasak masih menggunakan tungku yang bahan bakarnya kayu.
Di depan rumahnya ada beberapa karung yang berisi sampah plastik hasil dari memulung, biasanya 2 minggu sekali ada orang yang membeli dengan harga  Rp.1.500,00/kilonya.Â