Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Konteks Tinggi dalam Globalisasi Teknologi Informasi

16 April 2021   15:06 Diperbarui: 8 September 2021   11:38 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Sasin Tipchai from Pixabay

Setidaknya sejak penghujung abad ke-20 hingga 10 tahun terakhir ini diksi "globalisasi" terdengar riuh rendah dalam berbagai ruang percakapan dan terbaca pada halaman-halaman, baik manual maupun digital, di media massa. Kemudian harus kita akui bahwa kini globalisasi bukan hanya sekadar wacana, melainkan telah menjelma sebagai bagian dari hidup keseharian dan bahkan tanpa sadar telah menjelma sebagai budaya.

     Oleh sebab globalisasi tidak bisa dihindarkan, juga tidak bisa dihentikan.

     Apapun konsep globalisasi itu. Robertson (1992) mengartikan penyempitan dunia secara instensif dan peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu kian meningkat koneksi global dan pemahaman kita tentang koneksi global itu. Dalam pada itu, Barker (2004) mendefinisikan globalisasi sebagai koneksi global ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan menyelinap masuk ke dalam kesadaran kita. Pemahaman globalisasi secara umum dianalogikan sebagai dunia yang mengecil, sebuah perkampungan kecil, tanpa batas wilayah.

     Dengan mencermati beberapa pengertian tersebut, sudah barang tentu globalisasi membawa pengaruh terhadap semua aspek kehidupan manusia Indonesia. Apalagi teknologi informasi dan komunikasi sebagai pendukung utama, globalisasi telah secara perlahan mengubah kebiasaan, gaya hidup, perilaku, pemikiran, sudut pandang, dan sikap, sebagai budaya baru yang berbeda dari sebelumnya.  Baik secara statis maupun dinamis, perubahan budaya memang sebuah keniscayaan. Namun, globalisasi mempercepat perubahan budaya kita.

     Apatah lagi, jika identitas budaya kita rentan perubahan, lemah, dan tidak terjaga.

     Agaknya baik disampaikan sekali lagi bahwa faktor utama pendukung globalisasi adalah teknologi informasi dan komunikasi. Misi apapun dan dari manapun asalnya sebagai muatan, dibawa oleh teknologi dan komunikasi sebagi kendaraan. Jika muatannya adalah budaya, maka padu padan antara komunikasi dan budaya terjadi di situ. Ada kait-mengait dan saling menjalin antara keduanya. Dalam konteks ini, pandangan Edward T. Hall mengenai teori komunikasi antarbudaya, menjadi sangat tepat. Communication is culture and culture is communication, adalah adagiumnya yang terkenal.

     Edward T Hall mengemukakan perbedaan budaya konteks tinggi (high context culture) dan budaya konteks rendah (low context culture). Budaya konteks tinggi bercirikan pesan bersifat implisit, tidak langsung, tidak terus terang, pemahaman lebih kontekstual, ramah dan toleran terhadap budaya masyarakat, terkadang pesan sebenarnya tersembunyi dalam nonverbal seperti intonasi suara dan gerak tangan. Orang yang berbudaya jenis ini lebih terampil membaca perilaku nonverbal dan melakukannya. Karakteristik budaya konteks tinggi yakni bertahan lama, lamban berubah, dan mengikat kelompok penggunanya. Sementara itu, budaya konteks rendah bercirikan pesan verbal bersifat eksplisit, langsung, terus terang. Orang yang berbudaya jenis ini biasa mengatakan apa yang mereka maksudkan adalah apa yang mereka katakan.

     Salah satu bentuk budaya konteks tinggi adalah komunikasi diplomasi.

     Di masa lalu, dalam catatan sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, kemampuan komunikasi diplomasi dimiliki para tokoh pendiri bangsa dan negarawan kita. Kemampuan tersebut diperlukan sebagai alat perjuangan yang penting dalam berunding, berdebat, bernegosiasi, dan berargumentasi.  Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, H. Agus Salim, sedikit dari banyak contoh. Saya kutip penggalan pidato PM Sutan Syahrir merayakan HUT pertama Republik Indonesia, dalam Sang Pelopor (2012:106), sebagai berikut.  "Kita berjuang untuk membebaskan diri kita dari ikatan-ikatan serta pengaruh  kolonialisme yang menggenggam dan merusak sukma kita. Perjuangan kita sekarang ini betapapun kadang-kadang kasar pernyataan, tiada lain melainkan adalah suatu perjuangan untuk kemerdekaan diri kita melalui jalan pembebasan jiwa bangsa kita."

     Di masa kini komunikasi diplomasi berfungsi menginformasikan, mengeksplanasikan, mempersuasikan, dan mendeskripsikan segala sesuatu yang perlu disampaikan dari pemerintah kepada masyarakat. Para pejabat publik sejatinya terbiasa berbudaya konteks tinggi, seperti presiden, menteri, dan jajarannya ke bawah secara struktural.

     Akan tetapi, kenyataanya tidak selalu demikian.

     Arus deras globalisasi teknologi dan informasi telah mengubah budaya lama kemudian menggantikannya dengan budaya baru. Semisal membaca koran kertas (manual) sudah jarang dilakukan orang, sedangkan membaca online (digital) menjadi kebiasaan baru.

     Kehadiran jaringan internet, telepon genggam, aplikasi media sosial seperti youtube, dan dunia maya, ibarat sihir yang dengan serta merta mengubah budaya keseharian kita menjadi sama sekali berbeda. Rasanya mustahil tidak terpikat pada pesona media yang menggoda kita untuk hadir secara sosial, pemegang kendali, terlibat secara interaktif, memiliki privasi, dan kesenangan bermain itu.  Menjadi pemandangan sehari-hari anak kecil memainkan game di gadget, orang dewasa banyak meluangkan waktu untuk bermedia sosial, keluarga berkumpul di rumah tetapi tidak terjalin interaksi sosial karena masing-masing asyik dengan handphone, dan sebagainya. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa ada tradisi-tradisi yang ditinggalkan ketika datang era digital. Pun sekaligus memberikan gambaran bahwa globalisasi begitu banyak pengaruhnya pada berbagai aspek kehidupan.

     Pengaruh globalisasi teknologi informasi dan komunikasi ini, juga semarak media dan aplikasi media sosial, tidak terkecuali telah memengaruhi orang yang terbiasa berkomunikasi diplomasi dengan konteks budaya tinggi tiba-tiba berubah menjadi berbudaya konteks rendah.

     Di masa lalu, budaya konteks rendah hadir melalui obrolan ibu-ibu di pekarangan rumah tentang anak-anak mereka, sambil saling mencari kutu di kulit kepala. Juga percakapan dan canda bapak-bapak di pos ronda sembari main kartu gaple. Di masa sekarang, selain percakapan masyarakat biasa di dunia nyata, di dunia maya budaya konteks rendah hadir sebagai podcast dan percakapan di aplikasi media sosial seperti whatsapp, facebook, dan youtube. Barangkali sering mampir di whatsapp kita vlog ibu-ibu yang menceritakan betapa banyak pekerjaan yang dilakukannya di rumah (dengan nada jengkel dan bicara bersicepat dengan logat Sunda) tetapi merasa tidak begitu dihargai oleh suaminya atas semua upayanya itu. Yang terakhir ini menandai budaya konteks rendah; kata-kata lugas, eksplisit, terus terang, dan jenaka sebagai tontonan yang menghibur.

     Berikut contoh diplomasi yang seharusnya berbudaya konteks tinggi tergelincir menjadi berbudaya konteks rendah.

     Sebagaimana pernah dilansir kompas.com, mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sejak awal pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, pernyataannya kerap kontroversial. Misalnya mengenai (1) orang Indonesia tidak akan tertular, (2) belum ada virus corona seharusnya bersyukur bukan dipertanyakan, (3) harga masker tinggi, Terawan justeru menyalahkan orang yang membeli masker, "Salahmu sendiri kok beli, ya." (4) penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya, "Padahal kita punya flu yang biasa terjadi pada kita, batuk pilek itu angka kematiannya lebih tinggi dari yang ini corona tapi kenapa ini bisa hebohnya luar biasa." 

     Pernyataan mantan menteri kesehatan ini dilihat dari ciri budaya konteks tinggi, karena beliau seorang pejabat publik, secara teks dan konteks tidak memenuhi syarat. Komunikasi diplomasi yang dilakukannya seluruhnya menunjukkan budaya konteks rendah. Bersifat eksplisit, langsung, terus terang. Seperti obrolan biasa dengan diksi bahasa "gaul". Bukan kalimat-kalimat dari susun kata yang bermakna tinggi dan implisit. Ia hanya mengatakan apa yang dimaksudkan, seutuh-utuhnya. Seperti percakapan antarindividu dari kalangan masyarakat biasa.

     Saling pengaruh antarbudaya, sebagaimana juga dalam bahasa yang dikenal sebagai interferensi, sangat mungkin terjadi. Begitu pula halnya dengan budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah. Orang yang terbiasa atau orang yang kuantitas pengalaman kesehariannya lebih banyak menggunakan budaya konteks rendah, bisa tergelincir pindah area dari budaya konteks tinggi yang seharusnya ia manfaatkan ke budaya konteks rendah. Pengaruh globalisasi, terutama sekali teknologi informasi dan komunikasi, begitu kuat menggiring pejabat publik setingkat menteri sekalipun untuk mengambil ranah budaya rendah.

      Kekeliruan ini bisa jadi tidak disadari oleh pejabat publik. Namun, akibatnya bisa berdampak banyak bagi masyarakat. Dalam kasus tersebut, masyarakat dirugikan karena tidak mendapat cukup informasi yang benar dan tepat mengenai Covid-19. Kecuali pernyataan kontroversial dan kelakar, sulit ditemukan pernyataan diplomatis, bermakna, dan cukup berkualitas sebagai komunikator dari pejabat publik yang semestinya mengambil peran budaya konteks tinggi. Suatu hal yang sangat disayangkan oleh kita semua.***

Bogor, 16 April 2021

Artikel lainnya, "Guru PPPK Komitmen Lisan dan Noise dalam Komunikasi" pada tautan https://www.kompasiana.com/tatenggunadi4377/6063f160d541df3530362283/guru-pppk-komitmen-lisan-dan-noise-dalam-komunikasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun