Saat pertama kali aku mendengar kalimat “Man up!” atau “Don’t cry like a baby!”, aku masih kecil, mungkin baru berusia sepuluh tahun. Sejak saat itu, setiap kali air mata hampir menetes, aku buru-buru menahan. Karena “cowok sejati” tidak boleh lemah. Padahal, tanpa kita sadari, budaya ini meracuni cara kita memproses dan menyadari emosi kita sendiri.
Society Teaches Men to Hide Emotions
Sejak kecil, kita selalu mendengar pesan terselubung atau bahkan eksplisit bahwa “cowok itu kuat” dan tidak seharusnya mengekspresikan kesedihan atau ketakutan. Kalimat seperti “Jangan nangis di sini, nanti dibilang cengeng!” atau “Man up!” terulang berulang kali, di rumah ketika orang tua menegur, di sekolah saat teman mengejek, bahkan di iklan televisi yang menampilkan laki-laki tanpa rasa takut. Imbasnya, setiap kali kita merasa sedih, marah, atau cemas, alam bawah sadar kita langsung menekan perasaan itu dan menampilkan topeng seolah semuanya baik-baik saja, karena kita percaya emosi “lemah” adalah tabu bagi laki-laki.
Delayed Emotional Response: Distraction Mania
Karena terbiasa menyembunyikan emosi, respons alami kebanyakan pria bukanlah menghadapi atau memproses perasaan itu, melainkan mengalihkannya dengan aktivitas apa pun. Nongkrong bareng teman, lembur kerja atau tugas kuliah, main game, scrolling media sosial, atau binge-watching serial favorit menjadi pelarian yang efektif untuk menunda rasa sedih atau kecewa. Sayangnya, bila terus-menerus kita memilih “distraction” alih-alih penyembuhan, emosi itu tidak hilang; ia hanya tertunda dan menumpuk, siap meledak kapan saja dalam situasi yang paling tak terduga.
Ego and Pride: Harga Diri yang Membutakan
Ketika emosi ingin diungkap, sering terdengar bisikan ego yang berkata, “Jangan tunjukkan sisi lemahmu.” Kita takut kehilangan citra “cool” di mata orang lain, tidak mau dianggap inferior, dan berusaha mempertahankan kendali, padahal dengan menolak untuk mengakui perasaan, kita justru kehilangan kendali atas diri sendiri. Alih-alih mengelola emosi dengan bijak, kita menimbun dan mengubur perasaan. Padahal, kekuatan mental sejati justru muncul ketika kita berani merasakan dan mengekspresikan emosi secara sehat.
Grieves While We’re Still in Relationship
Ada kalanya kita menyadari sebuah hubungan, entah itu persahabatan, keakraban keluarga, atau asmara, akan mencapai ujungnya. Namun karena takut muncul sebagai sosok yang rapuh, kita memendam segala kecurigaan, kesedihan, dan rasa bersalah yang mengendap di hati. Akhirnya, ketika hubungan itu benar-benar berakhir, emosi yang telah lama tertahan meledak sekaligus, menghasilkan penyesalan mendalam: “Andai saja aku lebih jujur sejak awal…” Air mata yang tertunda itu tak lagi bisa dipisahkan menjadi proses yang halus dan penyembuhannya tidak lagi semudah ketika masih dalam hubungan.
Breaking the Cycle: Refleksi & Solusi Kecil
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Berikut beberapa langkah sederhana untuk memecah rantai toxic masculinity dalam diri kita dan lingkungan sekitar:
1. Self-Check-In
- Luangkan 5 menit tiap hari untuk menanyakan: “How am I feeling today?”
- Tulis di jurnal atau padukan dengan meditasi singkat.
2. Open Conversations
- Mulai ngobrol soal emosi, misalnya: “Bro, gua lagi banyak pikiran nih…”
- Keterbukaan kalian memberi izin pada yang lain untuk ikut terbuka.
3. Normalize Vulnerability
- Gak apa-apa nangis, minta tolong, atau bilang “gue takut.”
- Contohkan di depan anak atau adik kalau laki-laki pun boleh lemah.