Fajar belum menyapa langit ketika kapal kami perlahan menepi di Pelabuhan Luwuk, Sulawesi Tengah. Kala itu, saya dan beberapa kawan menaiki KMP Tanjung Api dari Pelabuhan Banggai.
Malam sebelumnya, tepat selepas isya, kapal mulai bergerak setelah sang nahkoda memberi aba-aba. Kapal buatan 2009 itu mengarungi perairan Banggai Bersaudara sejauh 77 mil laut selama sembilan jam.
Kami tak bergegas turun, meski deru mesin tak lagi terdengar. Sebagian dari kami perempuan, demi keselamatan, kami memilih tetap di dalam kapal. Kawan kami yang sudah sering ke Banggai berpesan: di kapal saja dulu, toh pesawat kita masih siang.
Kami nurut. Alih-alih menenteng barang keluar seperti penumpang lain, kami naik ke deck atas. Dari sana, kami menikmati udara pagi dan pemandangan Luwuk yang menyegarkan.
Di kejauhan, nampak beberapa bola lampu masih menyala. Kota kecil ini sunyi, namun dermaganya sudah lebih dulu terjaga.
Lintasan Perintis: Jalur Laut Banggai Bersaudara Hingga Maluku Utara
Di ujung geladak, tak jauh dari corong asap, saya dan dua kawan mengobrol ringan. Di sela obrolan itu, saya mengamati sekitar.
Kota Luwuk berkembang di sepanjang garis pantai dan dibentengi bukit hijau. Sejauh mata memandang, Pelabuhan Luwuk terlihat seperti jantung kota ini.
Jajaran kapal berbagai ukuran dan warna nampak tertambat rapi di dermaga. Pelabuhan ini memiliki beberapa tambatan, meski wilayahnya tak terlalu luas. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)-nya saja hanya seluas 236 hektar (Kemenhub via Bisnis.com, 2015).
Pelabuhan yang dibangun era Presiden Soeharto ini terdiri dari tiga bagian. Pelabuhan Rakyat Luwuk yang pintu masuknya berada di Jalan Ahmad Yani.
Pelabuhan Luwuk untuk tol laut dan jalur laut (PELNI), plus container yard (CY) di Jalan Yos Sudarso. Juga, Pelabuhan Ferry di Jalan Tan Malaka yang dikelola oleh PT. ASDP —BUMN yang mengoperasikan 36 pelabuhan dan 226 kapal penyebrangan di Indonesia.
Pelabuhan Luwuk ibarat magnet. Meski berstatus pelabuhan pengumpul (PP), banyak kapal singgah bahkan tinggal. Mulai dari kapal laut, kapal kayu, juga kapal penyebrangan.
Kondisi ini bukan tanpa alasan. Bagi pulau-pulau kecil di sekitarnya, Pelabuhan Luwuk menjadi gerbang terdekat ke mainland Sulawesi.
Untuk menjangkau pulau-pulau sekitar, umumnya kapal rakyat dan kapal milik ASDP-lah yang bergerak. Dalam situs resminya disebutkan bahwa melalui Pelabuhan Luwuk, ASDP melayani lintasan perintis.
Lintasan itu menyatukan Banggai Bersaudara (Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut) hingga Pulau Taliabu, Provinsi Maluku Utara. Sebut saja rute Luwuk-Banggai, Luwuk-Saiyong, Luwuk-Salakan, Banggai-Boniton, Banggai-Kaukes, dan rute Luwuk-Taliabu.
Berbeda dengan jalur komersial yang mengejar profit, lintasan perintis lebih mengedepankan pengembangan konektivitas daerah terpencil. Pemerintah bahkan memberikan subsidi demi menjaga keberlanjutannya.
“ASDP banyak melayani rute pelayaran perintis yang sangat dibutuhkan masyarakat, khususnya di daerah terpencil, tertinggal, dan terluar serta perbatasan (3TP).” ~ Shelvy Arifin, Corporate Secretary PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Per April 2025, ASDP melayani 207 lintasan perintis —setara dengan 70 persen dari total rute yang diarungi kapal-kapalnya. Lintasan krusial ini menjadi wujud kontribusi ASDP untuk rakyat, serta bagian dari semangat transformation for growth.
ASDP mengukuhkan perannya sebagai operator transportasi maritim, sekaligus agen pembangunan yang mendorong pemerataan akses dan pertumbuhan ekonomi. Semua ini sejalan dengan slogan ASDP: Bangga Menyatukan Nusantara.
Di wilayah Luwuk, ASDP menyediakan beberapa kapal seperti KMP Dolosi, KMP Moinit, KMP Tuna Tomini, juga KMP Cengkih Afo. Namun, kapal-kapal itu tidak beroperasi di Pelabuhan Luwuk, melainkan di beberapa pelabuhan lain seperti Pelabuhan Pagimana.
Untuk rute Banggai Bersaudara hingga Pulau Taliabu, ASDP melayarkan KMP Teluk Tolo dan KMP Tanjung Api, seperti yang kami tumpangi.
KMP Tanjung Api berjenis Roll-on/Roll-off (RoRo) yang dapat memuat 234 orang dan 19 unit kendaraan. Untuk saat ini, tiket dari Pelabuhan Luwuk belum tersedia di aplikasi Ferizy.
Namun, jadwal kapal rutin diperbarui melalui Instagram resmi @asdp.luwuk. Sementara untuk harga tiketnya, bisa dicek di pojok bawah situs asdp.id, atau di loket resmi pelabuhan.
Saat artikel ini ditulis, harga tiket untuk anak-anak sebesar Rp46.000 dan untuk dewasa Rp90.000. Harga berbeda dikenakan bagi penumpang yang membawa kendaraan. Misal, untuk Golongan IV (jeep/sedan/minibus) perlu membayar 1,4 juta-an.
Bagi saya, ini harga yang sepadan untuk mengarungi perairan Banggai Bersaudara secara langsung (direct). Sebelumnya, saya turut merasakan susah payahnya transit saat menuju Banggai Laut.
Berangkat dari Pelabuhan Rakyat Luwuk dengan kapal swasta menuju Salakan. Setelah itu, dari Salakan harus menempuh perjalanan darat ke Pelabuhan Tobing. Baru kemudian menaiki kapal cepat menuju Banggai Laut. Pengalaman yang cukup menguras tenaga dan biaya.
Terlepas dari itu, Pelabuhan Luwuk menyuguhkan kondisi yang ideal dan sehat. Mengapa? Karena beberapa jenis kapal dan bermacam operator bisa ditemukan di sini. Geliat pelabuhan tak mungkin hanya bertumpu pada kapal ASDP semata.
Pilihan armada dan jadwal yang beragam akan lebih memudahkan masyarakat. Terlebih lagi, kebersamaan ini akan menjadikan pulau-pulau 3T, khususnya di sekitar Pelabuhan Luwuk, semakin terhubung, efisien, dan hidup.
Jika Pelabuhan Luwuk Dan Kapal Penyebrangan Tidak Ada
Suasana laut Banggai dari atas kapal kayu saat malam hari | Foto: Eta Rahayu (koleksi pribadi)

Saya masih ingat bagaimana kapal menembus gulita di tengah perairan Banggai. Daratan lenyap dari pandangan. Laut sunyi. Kapal seolah melaju tanpa arah. Malam itu membuat saya sadar, kapal seperti inilah yang menjaga hidup tetap bergerak di pulau-pulau terpencil.
Saya tak berani membayangkan bagaimana jadinya jika kapal penyebrangan antar pulau-pulau itu tidak ada. Dikelilingi lautan, kapal menjadi moda utama yang tak tergantikan agar wilayah-wilayah ini tak terisolasi.
Pasalnya, hanya Banggai Laut yang memiliki bandara. Bandara Maulana Prins Mandapar itupun baru mulai melayani penerbangan perintis pada Maret lalu. Kini, Susi Air menjadi satu-satunya maskapai yang singgah dengan jadwal dua kali seminggu.
Jauh sebelum itu, Bupati Banggai Laut periode 2016-2020, Wenny Bukamo mengaku bahwa akses ke wilayahnya terpaku pada jalur laut (Indonesia.go.id, 2020).
Di pelabuhan-pelabuhan kecil seperti Luwuk-lah, kita menemukan wajah Indonesia yang paling jujur: terpencil, namun saling bergantung. Pelabuhan Luwuk menjadi simpul yang menautkan pulau-pulau di sekitarnya dengan erat.
Bila Jakarta adalah pusat keputusan, maka Luwuk adalah pusat kehidupan. Satu kapal yang bertolak dari Pelabuhan Luwuk bisa berarti bahan pokok bagi satu pulau. Dan pada kapal yang menepi, bisa jadi membawa harapan seorang remaja menjemput masa depannya.
Seperti laporan Palu.Navigasi.co (27/6/2025), Kepala Bulog Cabang Luwuk, Mohammad Sofiyan Sohilauw, menyatakan bahwa stok beras untuk Banggai Bersaudara masih aman hingga akhir tahun. Ia juga mengantisipasi tantangan distribusi di wilayah kepulauan yang sangat bergantung pada jalur laut. Artinya, distribusi bahan pokok di sana akan tersendat tanpa transportasi laut yang memadai.
“ASDP tidak hanya menghubungkan pelabuhan, tetapi menjembatani harapan masyarakat akan akses yang setara terhadap barang kebutuhan pokok dan komoditas penting. Layanan feri yang berkualitas akan mendorong pemerataan ekonomi, membuka akses pasar, dan menjadi fondasi utama pembangunan yang inklusif.” Shelvy Arifin dalam Siaran Pers ASDP 3 Juli 2025
Melalui Google Review, beberapa masyarakat juga memberikan ulasan positif pada Pelabuhan Luwuk. Shubkhi (2021) menuliskan mayoritas hasil bumi yang dibawa dari kepulauan dibongkar muatannya di pelabuhan ini. Hasrin (2023) menuliskan jika pelabuhan ini membantu sekali bagi yang mau berlayar dengan tujuan Sulawesi di sisi timur.
Reviu-reviu ini menegaskan bahwa Pelabuhan Luwuk dan kapal-kapal yang berlayar ke pulau sekitar begitu berarti bagi masyarakat.
Tak hanya Pelabuhan Luwuk yang membawa dampak positif. Sejak KMP Tanjung Api melintasi rute Banggai–Kaukes pada September 2023, ASDP mencatat setidaknya ada 170 penumpang dalam sekali perjalanan.
ASDP menilai manfaat ekonomi dan dampak sosialnya signifikan, terutama bagi masyarakat di Kecamatan Bokan Kepulauan. Kapal ini membuka akses yang lebih baik pada layanan kesehatan, pendidikan, hingga pasar tenaga kerja.
Saya pun turut merasakan manfaat kapal penyeberangan dan Pelabuhan Luwuk. Di atas kapal itu, saya menyaksikan wajah-wajah penuh harapan. Hari itu saya sadar, infrastruktur laut bukan sekadar soal angkutan, melainkan tentang menyambung kehidupan.
Matahari sudah cukup tinggi ketika kami akhirnya turun dari kapal, menuju mobil carter yang akan membawa kami ke Bandara Syukuran Aminuddin Amir. Perjalanan yang singkat, namun benar membuka cakrawala, bahwa di belahan Indonesia tengah sana transportasi laut menjadi urat nadi yang tak bisa dipisahkan dari jalan hidup masyarakatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI