Beras jenis ini digunakan sebagai terapi penyakit kronis seperti kanker, diabetes, ginjal bahkan penyakit jantung. Jelas, budidayanya yang secara organis, tidak terpapar bahan kimia, pupuk juga bahan aditif saat produksi, menjadi daya tarik sendiri bagi konsumen luar negeri yang sangat perduli akan kesehatan dan lingkungan.
Bayangkan, ini hanya satu komoditas saja. Padahal, pertanian di Indonesia terdiri dari berbagai macam sub sektor juga ratusan komoditas.
Capaian Nilai Ekspor Sektor Pertanian Indonesia
Sejauh ini, sub sektor tanaman pangan memang paling kecil diantara sub sektor lain. Namun hal tersebut tidak dapat dilihat secara makro, karena jumlah komoditas dan produk unggulan pun berbeda di setiap daerah. Satu yang pasti geliat ekspor dari sektor pertanian hingga saat ini masih menjadi salah satu sektor yang mampu menunjang nilai ekspor. Dan ini kabar gembira tentu saja.
Saya dan anda pasti mafhum, capaian demi capaian bermuara pada satu tujuan. Kesuksesan. Kemajuan. Kemandirian. Dan kita bisa melihat bahwa capaian sudah semakin baik. Namun, kita tentu tak ingin berpuas diri. Karena gerak capaian ini begitu fluktuatif.
Optimalisasi sektor pertanian masih perlu dilakukan untuk menuju kata “maju” yang sesungguhnya. Maka fokus utama kita adalah mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan ekspor sektor pertanian secara menyeluruh. Terutama dalam hal ini adalah ekspor komoditi beras, sub sektor tanaman pangan.
Tantangan Ekspor Tanaman Pangan
Zaman berubah. Teknologi berkembang. Perkembangannya pesat sekali, per sekian detik. Sektor pertanian tak luput dari perkembangan itu. Tantangan ekspor pertanian, terutama sub sektor tanaman pangan harus digarap dan ‘dibajak’ dengan serius.
Memacu Lari Sumber Daya Petani
Tak ada sektor pertanian bila tak ada petani. Subjek utama ini menjadi kriteria terpenting dalam rantai ekspor tanaman pangan. Sayangnya, kita tentu mendenger, “hari-hari ini siapa yang mau jadi petani?” Tanya ini hampir memuncaki setiap permasalahan yang ada di sektor pertanian. Petani menjadi profesi yang tak menarik bagi generasi masa kini. Anak petani lebih tertarik menjadi banker, menjadi bagian dari industri manufaktur. Apapun, asalkan bukan petani. Kiranya demikian.
Dan ini disaster. Musibah bagi sektor pertanian. Maka, sumber daya petani ini perlu dipacu. Menyediakan sekolah kejuruan bidang pertanian di pedesaan rasanya akan lebih urgent dibanding sekolah perhotelan atau administrasi keuangan. Bahkan bila diperlukan, pemberian intensif (atau beasiswa) tertentu bisa menjadi alternatif dorongan bagi para petani dan calon petani.
Lihatlah pada Hanjar. Untuk bisa melakukan ekspor, Hanjar bertemu dengan pihak Amerika, Singapura, Jerman. Lobbying pada perusahaan eksportir. Mengurus kelengkapan ekspor, sertifikasi dan berbagai hal yang berkaitan dengan ekspor. Untuk bisa melakukannya, kualitas diri yang baik tentu menjadi pijakan. Petani kita kedepannya harus demikian.