Mohon tunggu...
Seneng Utami
Seneng Utami Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perantau

setiap kata- kata punya nyawa

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Sudah Kerja Keras, Sabar Berkepanjangan, dan Mengalah, Lalu Kapan Kayanya?

19 Mei 2019   22:06 Diperbarui: 20 Mei 2019   04:52 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi Penulis (yang berambut panjang) dan temannya | Dokumen Pribadi

Hari ini aku ketemu temanku yang aku kenal sejak tahun 2013, dulu kita sama- sama masuk di PT yang sama saat mendaftarkan pekerjaan ke luar negeri (untuk menjadi TKW). Dalam kurun waktu satu bulan setengah ini kebetulan kita rutin bertemu setiap dua minggu sekali. Lumayan lah ya minimal kalau lagi ketemu bareng bisa saling curhat- curhatan.

Temenku ini sejak tahun 2013 dia bekerja di Hong Kong, pulang Indonesia selama setahun dan tepat pada Bulan Mei ini dia kembali bekerja di sini lagi dengan majikan yang baru. 

Karena pekerjaannya yang baru itu pastinya dia harus menyesuaikan diri dan mau tidak mau harus menghadapi segala tantangan yang baru mengingat kontrak kerja yang tertera di visanya minimal adalah dua tahun.

Tiap kali bertemu lagi dengannya, seolah aku sedang bernostalgia ria. Kehidupan yang terjadi padaku sendiri dari tahun 2013 hingga sekarang pun jika diceritakan cukup panjang juga jalannya. 

Ketika di PT dulu kita satu kelompok untuk grup piket dan aku menjadi ketuanya. Jadi kita sering menghabiskan waktu untuk melakukan sesuatu bersama- sama(komunikasi kita sudah dekat sejak dulu), masih ingat dulu kita mencuci mobil milik bos PT bersama, masak bersama, dan membersihkan lantai atau membuang sampah juga bersama.

"Nggak papa ya sekarang kita nyuci mobil milik bos PT dulu, mudah- mudahan ntar kita kerja di Hong Kong sukses dan pulang- pulang bisa beli mobil sendiri...!", kataku kepada temanku sewaktu di PT dulu.

"Haha, iya.... Amiiiiin.", jawabnya.

"Sekarang kalau pun kita beli paling baru cukup buat beli spion- nya..," candaku.

"Haha!", temanku tertawa terbahak- bahak.

Sejak pertama kali kita menginjakkan kaki di Hong Kong, berbeda dengan temanku yang bisa bertahan lama kerja di negara ini(lebih dari enam tahun), aku sendiri perjalanan kerjanya justru pindah- pindah. 

Entah itu karena mendapati masalah\ teledor, dihantui rasa bosan, memutuskan untuk pindah, sengaja mau mencoba hal yang baru, sempat juga pulang Indonesia selama kurang lebih satu tahun, dan akhirnya kembali ke Hong Kong lagi pada tahun 2016.

Uniknya walau kita telah lama tidak bertemu, jika kita curhat- curhatan antara aku dan temanku ada beberapa persamaan. Yaitu rasa- rasanya kita masih sama- sama harus berjuang dari nol besar lagi. Temanku ditahun sebelumnya lebih banyak menghabiskan hasil kerjanya untuk membiayai adiknya sekolah. Sedangkan aku dalam posisi kerjaanku pindah- pindah , selain dikirim ke orang tua, hasil kerjaku aku gunakan untuk membiayai adikku mengais ilmu juga.

"Hi Say, kamu ngerasa nggak sih kita ini aslinya udah mati- matian kerja. Bertahun- tahun pula, tapi kita nyadar kalau belum punya apa- apa. Kerja keras sudah, sabar sudah, mengalah sudah! Tapi kok belum kaya- kaya juga ya?", cetusku.

'Iya, aku juga heran. Sebenarnya aku sudah nggak mau lagi lho jadi TKW. Tapi ya karena tadi sudah terlanjur beli sebidang tanah dan belum dibayar sepenuhnya, pakai namaku pula. Ya mau nggak mau aku yang bertanggung jawab to ya. Nginget kalau kerja di Indonesia paling aku bisa apa? Kamu tahu sendirilah..."

"Hmmm...Yang jelas ditahun kemarin itu memang kita sedang sama- sama berkorban ya. Kerja dikuat- kuatin demi bantu bayar sekolah adik kita biar masa depannya cerah, masa depan keluarga kita juga baik."

"Sekarang aku sudah agak lega habis adikku lulus dan bekerja sekarang..."

"Aku juga merasa lega adikku dah lulus dan kerja, sekarang tinggal waktu kita buat fokus menabung untuk modal usaha."

Jika tanpa kekuatan dari dalam yang tinggi, aku dan temanku pasti sudah putus asa dan tidak mau bekerja di luar negeri. Sebab di sini kita kerja sepenuh waktu hanya untuk ngurusi pekerjaan rumah beserta tetek- mbengeknya, kebebasan hidup dibatasi, dan kebanyakan aturan. 

Kerja sudah maksimal, kenyataannya aku dan temanku masih berjuang dari awal kembali untuk "menatih mimpi" yang pernah dimimpikan sebelumnya. Dikarenakan harus mengalah dulu untuk mau menerima kenyataan hidup.

Pertemuan bersama temanku hari ini kurasakan amat sangat mengesankan, sejak jam setengah sebelas pagi hingga setengah enam sore, kita telah  ke Masjid bareng, jalan- jalan bareng, selfi- selfi bareng selama di perjalanan Mall, mengunjungi Museum yang bersebelahan dengan laut, beli jajanan bareng buat di bawa ke rumah dan tentunya di sela- sela semua itu aku menyelipkan kata- kata penguatan untuknya.

"Well, aku dan kamu senasib ya Say. Kita kerja udah metenteng banget. Entah uangnya pergi ke mana, kita sama- sama nggak punya catatan. Yang jelas beberapa uang larinya ke Ortu, ke adik, dan kebutuhan kita. 

Nggak usah menyalahkan dirimu soal kamu dulu ngabisin uang buat beli baju atau makanan yang kamu sukai. Kamu berhak mengapresiasi dirimu sendiri kok, kan udah kerja susah payah boleh dong kita happy sejenak. Kalau nggak kita sendiri yang ngasih kayak gitu, terus kita mau ngandalin siapa lagi, ya kan?"

Temenku mendengarkanku sambil tersenyum, dan aku lanjut nyerocos lagi...

"Say, kalau tetangga kita atau pun orang yang tahu kita di luar negeri ini, kebanyakan dari mereka sukanya ngoreksi kita dari yang nampak doang kan ya... Hati- hati Say, kita kalau bisa jangan gampang kemakan omongannya mereka. Soalanya mereka itu bagaikan cermin buat kita, dan kita adalah cermin buat mereka. Jadi kalau kita nggak punya pendirian hidup ya pasti bawaannya mau menilai orang lain melulu, maunya ngasih komentar hidup orang dan asal njeplak.... 

Kalau pun kita pada akhirnya diberi kemampuan lebih, mbendingan hidup kita biasa aja Say, nggak usah ditunjuk- tunjukin kita punya apa. Terus yang lebih penting lagi, selama di sini mari kita gunakan sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Di sini kita belajar melatih mental kita biar nggak panikan untuk menghadapi segala situasi yang naik turun. Kita harus semangat Say"

"Iya Neng...., selama setahun di rumah kemarin tiap aku keluar ketemu orang kok kurasakan mereka seperti mau mengontrol aku ya, hmmm. Tetap aja aku nggak terima kalau sampai ada orang yang merendahkan orang tuaku, aku tetap berani ngomong dan mbela orang tuaku!"

Dalam hatiku, aku menilai temanku sudah hebat. Dia telah berkorban untuk keluarganya. Bisa bertahan bekerja di sini menghadapi lika- liku sebagai pekerja di luar negeri, kuat melawan rasa sepi dan bosan. Memang pada kenyataannya jika kita mau mengubah nasib atau melakukan sebuah perubahan semuanya mesti ada yang dikorbankan/diperjuangankan.

Dari ceritaku dan temanku diatas didapatkan kesimpulan bahwa sekuat apapun pekerjaan yang telah mampu kita lakukan, unuk betul- betul mencapai kejayaan tetap harus melalui proses. 

Barangkali kita mampu mendapatkan uang hasil dari yang kita kerjakan, bagaimana pun juga uang tidak eksis. Uang bisa hilang dan habis sewaktu- waktu. 

Jadi sebaiknya, dimana pun kita bekerja dan berada tetap gunakan ruang dan waktu itu sebagai peluang menimba ilmu yang baru supaya wawasan dan pola pikir kita semakin berkualitas.

Ngomong- ngomong menjadi TKW di luar negeri dari segi positif yang bukan uang itu teramat banyak kalau kita( yang menjalani) bisa merasakannya. Seperti misalnya bisa mengetahui budaya di sini pastinya, jadi tahan banting kalau direndahkan sama majikan atau orang yang suka nyinyir, bisa punya ketrampilan untuk menghadapi orang dengan berbagai macam karakter, bisa punya ketrampilan dalam menata rumah, membersihkan, memasak, menyeltika atau pun pekerjaan rumah lainnya. 

Yang jelas menjadi pekerja wanita di luar negeri bisa melatih mental untuk mau mempercayai diri sendiri lebih baik lagi, sebab luar negeri jauh dengan keluarga, kebergantungannya dengan orang sangat minim sekali(menjadi mandiri).

Seneng banget rasanya aku hari ini bisa ketemu teman seperjuanganku, bisa dilukis bareng. Dalam menuliskan ini pun sesekali kupandangi lukisannya yang telah kutempel di dinding kamarku. Wow ternyata adventure kita menyenangkan Say, walaupun kalau dilihat dari luar sama orang kita masih belum punya apa- apa, yang penting adik kita sudah punya wawasan, punya pengetahuan dan punya  ketrampilan untuk bekerja.

Kerja keras sudah, sabar berkepanjangan sudah, mengalah sudah: kapan kayanya?

Hi Say, kita sudah kaya dari dalam ;)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun