Sebuah film dokumenter berjudul "The New Rulers of the World," karya jurnalis investigasi John Pilger, kembali mencuri perhatian di tengah perdebatan hangat tentang dampak globalisasi terhadap negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Dirilis pada tahun 2001, film ini mengupas secara mendalam peran vital korporasi besar dan lembaga keuangan internasional dalam membentuk ekonomi dan politik Indonesia setelah tahun 1965. Pilger, yang terkenal dengan laporan kritisnya terhadap kebijakan luar negeri negara-negara Barat, mengungkap sebuah konferensi rahasia yang diselenggarakan oleh Time-Life Corporation di Jenewa pada tahun 1967. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh bisnis terkemuka, seperti David Rockefeller, dan sering dianggap sebagai titik awal bagi pengambilalihan ekonomi Indonesia oleh kekuatan asing.
"Saya belum pernah mendengar situasi seperti ini terjadi di negara manapun, di mana modal global berkolaborasi dengan negara dan merumuskan syarat-syarat masuknya mereka sendiri ke negeri tersebut," demikian pernyataan salah seorang narasumber dalam film ini. Menurut Pilger, konferensi di Jenewa ini membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia yang melimpah, sambil memanfaatkan tenaga kerja murah. Kebijakan ekonomi yang diberlakukan oleh Bank Dunia dan IMF, seperti privatisasi dan deregulasi, justru semakin memperburuk ketidaksetaraan dan kemiskinan di tanah air.
Film "The New Rulers of the World" mengungkap sisi gelap sejarah Indonesia yang sering terlupakan, yaitu pembantaian massal terhadap ratusan ribu hingga jutaan orang yang dituduh sebagai komunis pada tahun 1965-1966. Dalam film tersebut, John Pilger menuduh Amerika Serikat dan Inggris berperan aktif dalam mendukung rezim Suharto, yang berhasil merebut kekuasaan melalui kudeta berdarah. Pilger mengungkapkan, "CIA memasok daftar 5. 000 lawan politik untuk dibunuh, dan para pejabat kedutaan mencoret nama-nama mereka saat mereka dibunuh," yang mencerminkan kedalaman keterlibatan internasional dalam kekejaman itu. Menurut Pilger, pembantaian 1965 ini membuka jalan bagi masuknya modal asing dan kehadiran perusahaan multinasional di Indonesia. Rezim Suharto, dengan dukungan Barat, memberikan konsesi yang menguntungkan kepada perusahaan-perusahaan asing, sekaligus menindas gerakan buruh dan organisasi masyarakat sipil yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Dalam konteks ini, PT. Gunung Raja Paksi (GRP), sebuah perusahaan manufaktur baja terkemuka yang berlokasi di Cikarang, Jawa Timur, dapat dianggap sebagai contoh konkret tentang bagaimana perusahaan besar beroperasi dalam ekosistem global yang kompleks. Meskipun GRP berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja, perusahaan ini juga menghadapi berbagai isu, seperti dampak lingkungan, hak-hak pekerja, dan relasinya dengan pemerintah. Sebagai ilustrasi, ekspansi industri baja sering kali memicu deforestasi, polusi air dan udara, serta konflik agraria dengan masyarakat setempat. Di sisi lain, kondisi kerja di pabrik baja kerap kali sangat berat dan berbahaya, dengan jam kerja yang panjang dan upah yang minim.
Perusahaan ini memberikan gambaran yang kompleks tentang bagaimana integrasi ekonomi global berlangsung, peran korporasi dalam mempengaruhi kebijakan nasional, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan lingkungan. Dengan menjalin kemitraan strategis dan berdialog erat dengan pemerintah, GRP mencerminkan kedekatan hubungan antara korporasi dan dinamika kekuasaan politik di Indonesia. Dalam konteks ini, operasional GRP lebih dari sekadar produksi baja; hal ini juga terkait dengan bagaimana perusahaan-perusahaan seperti GRP membentuk arah pembangunan ekonomi dan sosial suatu negara, serta pengaruhnya terhadap lingkungan hidup dan komunitas di sekitarnya.
Film "The New Rulers of the World" tetap relevan hingga saat ini, di tengah meningkatnya kesadaran mengenai dampak negatif globalisasi terhadap lingkungan, hak asasi manusia, dan kedaulatan negara. Karya ini mengajak kita untuk mempertanyakan narasi dominan mengenai pembangunan ekonomi dan kemajuan, serta untuk mencari alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan. Sebagai konsumen, kita memiliki kekuatan untuk memengaruhi perilaku perusahaan dan pemerintah. Dengan mendukung produk yang dihasilkan secara etis dan berkelanjutan, serta menuntut transparansi dan akuntabilitas dari mereka, kita dapat berkontribusi pada perubahan yang positif. Sebagai warga negara, kita juga memiliki tanggung jawab untuk mempelajari sejarah kita, termasuk aspek-aspek kelam yang mungkin menyakitkan. Dengan memahami masa lalu, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik, di mana keadilan, kesetaraan, dan keberlanjutan menjadi nilai-nilai utama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI