Mohon tunggu...
TARYONO
TARYONO Mohon Tunggu... Buruh - Menempuh jalan sunyi kerinduan

Lahir Januari 1986 di Palembang tinggal di Magelang-Jawa Tengah Pernah sekolah di : - TK Pertiwi Tegalsari Candimulyo Magelang - SD N II Tegalsari Candimulyo Magelang - SMP N 1 Candimuyo Magelang - SMA Muhamadiyah 1 Mungkid Magelang - Politeknik Muhammadiyah Magelang - Universitas Muhammadiyah Magelang - STIE SBI Yogyakarta Pernah aktif di : - Ikatan Remaja/Pelajar Muhammadiyah dari ranting s.d pimpinan pusat - Pemuda Muhammadiyah Magelang - DPD KNPI Kabupaten Magelang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Salah Minum Obat?

6 Januari 2019   11:06 Diperbarui: 6 Januari 2019   12:52 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggapan atas tulisan Saudara Naufal Dunggio di media RMOL

Beberapa pekan terakhir khususnya pasca pelantikan PP Pemuda Muhammadiyah hasil Muktamar Jogja November kemarin cukup menarik untuk di perbincangkan. Menyimak pidato iftitah Ketua Umum terpilih saat pelantikan yang menimbulkan pro dan kontra di internal organisasi. 

Kebetulan juga Pemuda Muhammadiyah melaksanakan Muktamar di waktu yang tepat, berdekatan dengan pesta demokrasi pileg dan pilpres. Di akui atau tidak saling tarik-menarik kepentingan politik pasti terjadi, menilik eskalasi politik nasional yang semakin panas dan beringas.

Yang menjadi soal adalah pernyataan Cak Nanto tentang penertiban anggota Persyarikatan yang tidak patuh dengan himbauan dan instruksi PP Muhammadiyah, dalam hal ini terkait aksi reuni 212 yang "ditafsirkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan akhirnya menjadi booming". 

Sebenarnya bagi saya yang kader Muhammadiyah pinggiran ini tidak ada masalah dari pernyataan Cak Nanto tersebut ketika kita berfikiran obyektif dan positif tanpa ada tendensi politik kepentingan. Beda hal jika kita ambil sudut pandang seorang tim sukses capres, yang satu menafsirkan dukungan yang lain menafsirkan secara tak langsung menggiring ke salah satu pasangan.

Pernyataan itu adalah hal yang lumrah dilontarkan oleh seorang petinggi organisasi, mengambil jalan tengah untuk menjaga marwah persyarikatan. Namun yang terjadi adalah menggeser makna membereskan-menertibkan menjadi pemecatan atau menyingkirkan, sehingga terbangun opini bahwa sang ketua umum akan memecat anggota yang ikut aksi reuni 212. 

Pernyataan yang digoreng habis-habisan oleh berbagai pihak, secara personal tentu Cak Nanto sangat diuntungkan karena popularitasnya langsung naik tajam. Tinggal beliau mampu mengelola isue tersebut atau tidak.

Hal itu pun bagi saya masih jamak karena posisi ketua umum PP PM adalah jabatan prestisius untuk memuluskan karier seorang kader. Jika para mantan kandidat ketua umum beserta pendukungnya mampu mengambil peran dan fungsi masing-masing dalam politik kebangsaan, maka tindakan saling hujat dan saling melemahkan tentu tidak akan terjadi.

High politic Muhammadiyah seharusnya mampu diterjemahkan oleh setiap kader Persyarikatan, sehingga kader-kader politik persyarikatan bisa berdiaspora ke berbagai ranah politik dan partai politik. Jadi, kedepan kader Muhammadiyah tidak lagi tersudut pada pilihan "politik ombyokan", dimana kader beramai-ramai masuk dalam satu partai politik dan bertarung dengan kawan sendiri.

Kader Muhammadiyah kembali dituntut untuk bersikap dewasa dalam berpolitik, baik di internal persyarikatan maupun di dunia politik riil. Membangun persyarikatan dan umat itu tidak harus menjadi pimpinan, tapi peran kita di setiap level harus bisa di rasakan oleh jama'ah dan umat. Untuk apa jadi pimpinan jika kepentingan dan nafsu/ syahwat pribadinya yang dikedepankan, sementara persyarikatan dan umat hanya dijadikan alas kaki saja.

Seperti apapun Cak Nanto adalah pimpinan yang dipilih secara konstitusional sesuai dengan mekanisme organisasi, soal trik dan intrik proses pemilihan itu adalah bagian dari strategi dan kecerdasan masing-masing kandidat. Jadi yang kalah jangan berkecil hati, yang menang jangan bangga diri. Legowo adalah kata kuncinya, saya yakin tidak ada yg sempurna dan seharusnya saling melengkapi ketidaksempurnaan itu. Jadi pimpinan itu jangan cengeng, mau jadi pimpinan tapi juga harus mau dipimpin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun