Peningkatan produksi pangan adalah harga mati, sama halnya dengan doktrin NKRI bagi TNI. Oleh karena itu, tidak heran bila tentara juga ikut campur dalam mengurus peningkatan produksi pangan. Tanpa ada peningkatan produksi pangan, maka bangsa kita bisa kelaparan atau terpaksa mengimpor demi mencukupi kebutuhan makan.Â
Mungkin itu pula yang mendasari penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding -- MoU) antara TNI dengan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Dinas-dinas pertanian di beberapa wilayah, kemarin.Â
Menurut berita, ketiga belah pihak menandatangani MoU itu di Bogor, beberapa waktu lalu. Para pihak yang terlibat adalah 8 Kepala Dinas Pertanian Provinsi (Aceh, Lampung, Kalteng, Kaltara, Sulsel, Sulteng, Sultra dan Papua) dengan Kepala Staf Kodam (Kasdam). Ada juga penandatanganan antara 28 Kepala Dinas Kabupaten dengan Danrem/Dandim.
Bukan baru kali ini saja TNI terlibat dalam urusan pertanian di negara kita. Beberapa proyek pertanian yang pernah mengikut sertakan TNI di antaranya adalah pengawasan Luas Tambah Tanam (LTT), pengawalan Serap Gabah (Sergab), sampai penyaluran pupuk bersubsidi.
Pihak Kementan sendiri mengklaim, program cetak sawah bersama TNI juga sudah dilakukan sejak 2015 sampai 2018 lalu. Hasilnya, menurut Kementan, mereka sudah berhasil mencetak sekitar 200 ribu hektare sawah baru yang lokasinya tersebar di seluruh Indonesia. Menurut Kementan, luasan sawah baru yang mereka cetak itu bahkan hampir mencapai sejuta hektare. Terdiri atas lahan tidur yang diubah jadi sawah dan juga optimalisasi lahan rawa.Â
Pemaparan tadi bisa saja terdengar sebagai sebuah prestasi. Karena itu dianggap sebagai upaya ekstensifikasi lahan pertanian untuk peningkatan produksi pangan. Namun kebenaran dari klaim luasan lahan itu jarang terdengar.Â
Kalau memang ada penambahan luas lahan yang sedemikian besarnya, mengapa impor beras kita masih saja tinggi dari tahun ke tahun. Pertanyaan mendasar dan sederhana ini harus bisa dijawab oleh Kementan. Kalau memang ternyata perluasan lahan atau optimalisasi rawa tidak nendang atau tidak mampu mendongkrak produksi pangan, mungkin Kementan harus memikirkan program yang lain lagi. Karena program cetak sawah dan optimalisasi rawa itu bukanlah barang murah dan menggunakan anggaran negara.Â
Selain itu, harus juga dipikirkan bahwa pembukaan lahan oleh TNI tetap membutuhkan petani untuk menggarap lahannya. Oleh karena itu, jangan sekadar bangga dengan berhasil membuka lahan. Tapi bekerja keraslah agar petani juga mau menggarap lahan itu agar bisa berproduksi. Bantu juga agar para petani bisa berproduksi dengan alat mesin pertanian (Alsintan). Yang intinya, jangan langsung sekadar bangga dengan total bukaan lahan. Apalagi bila hasil produksinya tidak kelihatan.