Akibat pecahnya pertempuran 10 November, jumlah korban yang diangkut ke Rumah Sakit Pusat Simpang (bangunan sekarang berlokasi di Plaza Surabaya, seberang Stasiun Gubeng) dari hari ke hari meningkat. Korban-korban berdatangan terus-menerus. Bagian bedah yang dipimpin dr. Sutojo bekerja terus-menerus selama 24 jam. Dokter-dokter bekerja secara bergilir.
...
Kondisi overload menyebabkan rumah sakit darurat di Karangmenjangan dibuka kembali. Beberapa rumah sakit lainnya seperti RS William Booth, RS Katholik, RS St. Melania, rumah sakit bekas Kaigun, mengalami tugas yang sama. Masalah lainnya adalah bagaimana memelihara moril perawat yang makin hari semakin lelah, atau dicekam kepanikan lalu meninggalkan tugasnya, sehingga jumlah perawat menurun. Dr. Soetopo memanggil para relawan melalui Radio Pemberontakan.
…
Pemandangan di jalan tampak seperti abatoir. Darah tercecer sepanjang jalanan, korban-korban tampak sangat memilukan. Ada yang berteriak kesakitan, ada yang kehilangan anggota badannya. Karena merasa terpanggil oleh semangat perjuangan, pemuda putri bekerja terus-menerus. Murid-murid putri sekolah dasar dan SMP turun tangan mengangkati korban-korban. Jumlah korban yang dirawat di RS Simpang telah mencapai 1.000 orang.
…
Karena terbatasnya tenaga dokter, perawat, dan sukarelawan medis, serta diliputi perasaan panik dan gelisah, petugas RS Simpang menyatakan tidak sanggup bekerja lagi. Mereka menyerah akibat terlalu lelah bekerja siang-malam tanpa henti. Kepala RS Simpang, dr. Soetopo berunding dengan PMI, lantas memutuskan untuk mengungsikan korban pertempuran ke luar Surabaya.
…
Sebagian korban diungsikan ke RS Sidoarjo dengan ambulans, truk, dan cikar. Penderita lainnya diungsikan ke Malang, Mojokerto, Mojowarno, dan Jombang. Dengan bantuan Kepala Jawatan Kereta Api Jawa Timur, Sudji, yang berkedudukan di Stasiun Gubeng, pengungsian berjalan lancar. Padahal trayek kereta api pada saat itu hanya sampai Wonokromo saja. Gerbong-gerbong ditarik ke Stasiun Gubeng tanggal 13 November malam hari. Setelah persiapan selesai, evakuasi dimulai. Mereka diangkut dengan tandu-tandu darurat dari rumah sakit lalu dinaikkan ke gerbong. Semua pihak bekerja keras untuk melakukan evakuasi ini. Evakuasi pertama tujuan Malang dilakukan dari pukul 19.00 hingga 02.00 tanggal 14 November. Kemudian berangsur-angsur diteruskan tiap malam menuju tujuan berbeda. Evakuasi memakan waktu satu minggu dan mengungsikan ±1.000 penderita.
Sementara itu, viaduct Gubeng yang melintasi stasiun merupakan markas terbuka bagi arek-arek Surabaya untuk merebut kantor Kaigun (sekarang Grand City) pada bulan September 1945 serta menjadi pusat TKR Pelajar menyusun pertahanan pada 20 November 1945 saat menghadapi truk Gurkha. Pada railing besi viaduct masih berbekas jejak hantaman senajata sehingga jembatan tersebut dinobatkan sebagai cagar budaya.
Menikmati Stasiun Gubeng masa kini dengan segala fasilitas kereta apinya yang serba murah, mudah, aman, dan nyaman adalah harga yang dibayar luar biasa mahal oleh pahlawan kita. Ber-komuter bukan hanya tentang berpindah tempat saja. Ada kisah-kisah haru yang mengusik jiwa nasionalis kita, jika kita mau menyelam ke masa silam.
KAI Commuter: Melerai Kangen, Mengurai Kenangan
Di Stasiun Porong, wanita bergamis itu tampak belum terlalu tua. Namun, siapa sangka bahwa umurnya sudah lebih dari setengah abad. Osteoporosis pelan-pelan mengikis lututnya. Tiga kali dipasang ring jantung untuk mereda jantung koroner. Microsurgery juga pernah dilakukannya untuk mengatasi tumor mata yang berdiang selama 10 tahun sebelum dioperasi.
“Saya mau ke Surabaya. Kangen cucu,” tukasnya. Ketiga anaknya telah berkeluarga dan berpencar beda kota. Pandaan, Surabaya, dan Jakarta. Suaminya telah meninggal. Beliau tak rela meninggalkan rumah yang ia bangun bersama mendiang suami tercinta, akibatnya ia tinggal sebatang kara. Kesepian dan kerinduan senantiasa beriringan. Kesibukan kota kadang tak memahami, nun jauh di sana ada sosok-sosok yang rindu untuk ditemui. Mengapa tak mengunjungi cucunya di Pandaan saja? Bukankah lebih dekat daripada ke Surabaya?
“Ke Pandaan sulit. Kalau naik bus, lutut saya nggak kuat naik-turun cepet. Kalau angkot, kadang ngetem (berhenti)nya lama,” ungkapnya, “kalau ke Surabaya tiketnya dibelikan, nanti dikirim foto ke WA. Dari rumah saya naik becak. Turun Gubeng nanti dijemput.” Andaikan belum ada aplikasi KAI Access, saya tidak membayangkan kesulitan yang akan dialaminya untuk sekedar membeli tiket kereta. Pulang dengan tangan kosong dan wajah kecewa adalah kemungkinan yang akan dialami kalau beli tiket di loket. Perkembangan KAI Commuter dengan segala kemudahannya memang perlu diapresiasi. Kata siapa teknologi hanya untuk anak muda? Sebuah bukti bahwa lansia pun tetap bisa menikmati.