Selamat! Anda dinyatakan lolos seleksi dan berhak mengikuti program SCENE – Masterclass Pengembangan Skenario Original Series yang diselenggarakan di Kota Malang …
Begitu pesan yang tertera pada bunyi email masuk di pagi hari. Antara kaget, haru, tercengang, dan tidak percaya. Secara otomatis, kucari aplikasi berwarna biru, KAI Access, dan mengecek kereta keberangkatan besok.
Menuju Malang kala itu, tidak pernah terlintas untuk menggunakan moda transportasi lain. Bayangkan, dengan begitu banyak barang bawaan, antara lain: laptop, berkas-berkas, serta pakaian untuk tiga hari, mengendarai kendaraan sendiri terlalu riskan dan pasti kelelahan di jalan. Naik bus? Bagiku yang tinggal di Surabaya Timur, Stasiun Gubeng lebih dekat daripada Terminal Purabaya. Belum lagi, ada kemungkinan tas besarku bisa dilempar pada bagasi bus sekenanya saja. Padahal disitu tersimpan barang berharga bagi seorang penulis —sebuah laptop adalah nyawa. Fasilitas rak di atas tempat duduk penumpang pada KAI Commuter membuat tenang. Barang bawaan bisa dijaga sendiri oleh penumpang sepanjang perjalanan. Pengguna pun dimudahkan dalam pembelian tiket dalam genggaman.
Perjalanan ke Masa Silam
Naik kereta api, tut … tut … tuuut …
Siapa hendak turut
Ke Bandung … Surabaya …
Menjadi customer loyal KAI adalah predikatku semenjak resmi sebagai anak rantau. Kereta api mengantarkanku menuju kampus impian serta pulang ke kampung halaman, sesuai lagu masa kecil dulu. Oh, tidak lupa perjalanan saat kuliah lapangan di hutan-hutan ujung timur Pulau Jawa bersama rombongan. Ya, setiap tahun kami menyewa satu gerbong penuh trayek Bandung – Gubeng. Meski sekarang tak lagi menjadi penumpang kereta jarak jauh, kali ini KAI Commuter lah yang sering mengantarkan menuju impianku.
Layanan yang patut aku syukuri dengan berkembangnya KAI Commuter adalah stasiun yang terkoneksi. Beberapa tahun silam, Stasiun Gubeng terpisah antara stasiun lama dan baru berdasarkan tipe penumpang. Stasiun lama untuk pengguna kereta lokal, sedangkan stasiun baru untuk penumpang jarak jauh. Kini, baik penumpang jarak jauh maupun dekat bisa check-in di keduanya.
Tak pandang bulu, tak beda kasta. Tak perlu lagi pergi buru-buru dan memutar jauh untuk menuju rel yang sama. Praktis. Terlebih, fasilitas di stasiun baru juga dapat dinikmati oleh penumpang lokal, seperti air minum isi ulang, live music, playground, toilet bersih, dan musala yang nyaman. Hal mewah yang bisa dinikmati dengan harga tiket tak lebih dari dua puluh lima ribu rupiah.
Menanti kereta Penataran-Dhoho menuju Malang membuat kulitku meremang. Bukan hanya kenangan masa lalu bersama rombongan, tetapi cuplikan kisah berkelebat tetang kereta api dan kemanusiaan di masa menjemput kemerdekaan. Betapa pada Stasiun Gubeng, rel-relnya, dan viaduct di atasnya adalah relik-relik perjuangan. Jasa besar kereta api jurusan Surabaya – Malang dituliskan pada buku “Pertempuran Surabaya” secara apik hingga ingatan turut merekam. Kutipan kisahnya sebagai berikut.
Akibat pecahnya pertempuran 10 November, jumlah korban yang diangkut ke Rumah Sakit Pusat Simpang (bangunan sekarang berlokasi di Plaza Surabaya, seberang Stasiun Gubeng) dari hari ke hari meningkat. Korban-korban berdatangan terus-menerus. Bagian bedah yang dipimpin dr. Sutojo bekerja terus-menerus selama 24 jam. Dokter-dokter bekerja secara bergilir.
...
Kondisi overload menyebabkan rumah sakit darurat di Karangmenjangan dibuka kembali. Beberapa rumah sakit lainnya seperti RS William Booth, RS Katholik, RS St. Melania, rumah sakit bekas Kaigun, mengalami tugas yang sama. Masalah lainnya adalah bagaimana memelihara moril perawat yang makin hari semakin lelah, atau dicekam kepanikan lalu meninggalkan tugasnya, sehingga jumlah perawat menurun. Dr. Soetopo memanggil para relawan melalui Radio Pemberontakan.
…
Pemandangan di jalan tampak seperti abatoir. Darah tercecer sepanjang jalanan, korban-korban tampak sangat memilukan. Ada yang berteriak kesakitan, ada yang kehilangan anggota badannya. Karena merasa terpanggil oleh semangat perjuangan, pemuda putri bekerja terus-menerus. Murid-murid putri sekolah dasar dan SMP turun tangan mengangkati korban-korban. Jumlah korban yang dirawat di RS Simpang telah mencapai 1.000 orang.
…
Karena terbatasnya tenaga dokter, perawat, dan sukarelawan medis, serta diliputi perasaan panik dan gelisah, petugas RS Simpang menyatakan tidak sanggup bekerja lagi. Mereka menyerah akibat terlalu lelah bekerja siang-malam tanpa henti. Kepala RS Simpang, dr. Soetopo berunding dengan PMI, lantas memutuskan untuk mengungsikan korban pertempuran ke luar Surabaya.
…
Sebagian korban diungsikan ke RS Sidoarjo dengan ambulans, truk, dan cikar. Penderita lainnya diungsikan ke Malang, Mojokerto, Mojowarno, dan Jombang. Dengan bantuan Kepala Jawatan Kereta Api Jawa Timur, Sudji, yang berkedudukan di Stasiun Gubeng, pengungsian berjalan lancar. Padahal trayek kereta api pada saat itu hanya sampai Wonokromo saja. Gerbong-gerbong ditarik ke Stasiun Gubeng tanggal 13 November malam hari. Setelah persiapan selesai, evakuasi dimulai. Mereka diangkut dengan tandu-tandu darurat dari rumah sakit lalu dinaikkan ke gerbong. Semua pihak bekerja keras untuk melakukan evakuasi ini. Evakuasi pertama tujuan Malang dilakukan dari pukul 19.00 hingga 02.00 tanggal 14 November. Kemudian berangsur-angsur diteruskan tiap malam menuju tujuan berbeda. Evakuasi memakan waktu satu minggu dan mengungsikan ±1.000 penderita.
Sementara itu, viaduct Gubeng yang melintasi stasiun merupakan markas terbuka bagi arek-arek Surabaya untuk merebut kantor Kaigun (sekarang Grand City) pada bulan September 1945 serta menjadi pusat TKR Pelajar menyusun pertahanan pada 20 November 1945 saat menghadapi truk Gurkha. Pada railing besi viaduct masih berbekas jejak hantaman senajata sehingga jembatan tersebut dinobatkan sebagai cagar budaya.
Menikmati Stasiun Gubeng masa kini dengan segala fasilitas kereta apinya yang serba murah, mudah, aman, dan nyaman adalah harga yang dibayar luar biasa mahal oleh pahlawan kita. Ber-komuter bukan hanya tentang berpindah tempat saja. Ada kisah-kisah haru yang mengusik jiwa nasionalis kita, jika kita mau menyelam ke masa silam.
KAI Commuter: Melerai Kangen, Mengurai Kenangan
Di Stasiun Porong, wanita bergamis itu tampak belum terlalu tua. Namun, siapa sangka bahwa umurnya sudah lebih dari setengah abad. Osteoporosis pelan-pelan mengikis lututnya. Tiga kali dipasang ring jantung untuk mereda jantung koroner. Microsurgery juga pernah dilakukannya untuk mengatasi tumor mata yang berdiang selama 10 tahun sebelum dioperasi.
“Saya mau ke Surabaya. Kangen cucu,” tukasnya. Ketiga anaknya telah berkeluarga dan berpencar beda kota. Pandaan, Surabaya, dan Jakarta. Suaminya telah meninggal. Beliau tak rela meninggalkan rumah yang ia bangun bersama mendiang suami tercinta, akibatnya ia tinggal sebatang kara. Kesepian dan kerinduan senantiasa beriringan. Kesibukan kota kadang tak memahami, nun jauh di sana ada sosok-sosok yang rindu untuk ditemui. Mengapa tak mengunjungi cucunya di Pandaan saja? Bukankah lebih dekat daripada ke Surabaya?
“Ke Pandaan sulit. Kalau naik bus, lutut saya nggak kuat naik-turun cepet. Kalau angkot, kadang ngetem (berhenti)nya lama,” ungkapnya, “kalau ke Surabaya tiketnya dibelikan, nanti dikirim foto ke WA. Dari rumah saya naik becak. Turun Gubeng nanti dijemput.” Andaikan belum ada aplikasi KAI Access, saya tidak membayangkan kesulitan yang akan dialaminya untuk sekedar membeli tiket kereta. Pulang dengan tangan kosong dan wajah kecewa adalah kemungkinan yang akan dialami kalau beli tiket di loket. Perkembangan KAI Commuter dengan segala kemudahannya memang perlu diapresiasi. Kata siapa teknologi hanya untuk anak muda? Sebuah bukti bahwa lansia pun tetap bisa menikmati.
Di lain waktu, saya bertemu ibu dengan dua orang anak. Satu yang besar agak pendiam, satunya aktif berceloteh riang. Si anak aktif ternyata keponakannya, yang baru pertama kali naik kereta. Pantas saja rautnya gembira tak terkira. “Selama ini cuma lihat dari jauh saja di perlintasan kereta,” tutur bibinya.
“Yang besar ini anak saya. Maunya tiap naik kereta pakai baju ini, dibelikan ayahnya,” ujarnya. Baju kuning bergambar bus lucu yang digemari anak-anak, tak secerah raut mukanya. “Nggak lama, ayahnya meninggal, Mbak.” Ah! Senyumku langsung memudar. Hatiku mencelos. Pantas saja ia begitu. Suasana kereta yang nyaman dan tenang memang melenakan untuk melihat rona lingkungan di luar jendela, atau itu sebuah pengalihan saja. Bocah itu sebenarnya sedang mengenang momen-momen bersama ayahnya. Commuter baginya tak sekedar alat berpindah. KAI Commuter adalah alat pembasuh rindu.
Penumpang KAI Commuter memang bervariasi. KAI Commuter mengantar penuntut ilmu dan pendulang nafkah yang berjubel di pagi dan sore hari. Di kala senggang, KAI Commuter tetap menjadi pilihan berbagai kalangan: pedagang yang kulak di pasar besar, orang-orang yang bertemu janji, atau keluarga yang hendak silaturahmi.
Sebuah bukti bahwa saya sering kehabisan tiket menunjukkan KAI Commuter adalah moda pilihan. Ular besi tak bisa ugal, tak ada kemacetan, menawarkan kenyamanan dan keamanan daripada berjibaku dengan asap kotor di jalanan. Lebih dari itu, KAI Commuter menawarkan berbagai kisah-kisah kemanusiaan yang mengasah empati, yang tidak didapat dari kereta jenis lain.
Ada kebaikan-kebaikan kecil yang tersirat. Seorang bapak yang menawarkan duduknya untuk ibu hamil, seorang gadis asing bercanda dengan bocah sementara ibunya sedang salat, atau anak kecil tak saling kenal yang berbagi makanan. Di dalam kereta yang murah, mudah, aman, dan nyaman, tersimpan segudang kisah yang melintasi waktu dan ruang. Semoga KAI Commuter tetap lestari melayani berbagai penumpang lintas generasi serta menjadi solusi transportasi publik, demi bumi dan untuk negeri.
Sumber:
Notosusanto, Nugroho. 1985. "Pertempuran Surabaya". Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
"Station Soerabaja Goebeng van de Staatsspoorwegen". 1935. KITLV, University Leiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H