Lalu, apakah penceramah sudah tidak berguna?
Jawabannya tidak sesederhana itu. Penceramah, bagaimanapun, masih memiliki fungsi yang tidak bisa digantikan oleh algoritma: menghadirkan sentuhan manusiawi, menyambungkan ilmu dengan konteks sosial, dan menyalurkan energi emosional yang tidak dimiliki oleh teks atau video. Namun, fungsi ini semakin sempit dan semakin berat.
Bayangkan penceramah yang tetap setia pada model lama: membaca ayat, menceritakan kisah, lalu menyelipkan pesan politik. Jamaah yang sudah terbiasa dengan kecepatan internet tentu akan merasa bosan. Mengapa harus duduk berjam-jam mendengar pengulangan yang sama, jika di ponsel mereka bisa langsung mengakses tafsir lebih lengkap, dengan bahasa lebih menarik, dan tanpa muatan politik yang menyebalkan?
Profesi penceramah kini sedang mengalami ancaman kepunahan---bukan karena kebodohan masyarakat, tetapi justru karena kecerdasannya yang meningkat. Orang semakin mampu belajar sendiri, memverifikasi sendiri, bahkan mengajarkan ulang dengan lebih baik. Jika penceramah tidak segera bertransformasi, ia akan menjadi fosil budaya: dikenang, dihormati, tetapi tidak lagi dikunjungi.
Agar tetap relevan, penceramah harus bergeser peran. Ia tidak lagi bisa hanya menjadi penyampai informasi. Peran itu sudah direbut oleh internet dengan cara yang jauh lebih efisien. Penceramah harus menjadi penafsir yang bijak, kurator yang selektif, sekaligus pembimbing yang membantu jamaah mengaitkan ilmu dengan kehidupan nyata.
Ironisnya, banyak penceramah yang justru menolak perubahan ini. Mereka masih bertahan dengan model monolog satu arah, seolah-olah jamaah tidak punya pilihan lain. Padahal, jamaah modern sudah memiliki "remote control" di genggamannya. Ia bisa memilih, memilah, bahkan meninggalkan. Ceramah yang tidak relevan akan ditinggalkan, dan penceramah yang gagal menyesuaikan akan perlahan hilang dari panggung. Yang menggerus otoritas penceramah bukanlah musuh dari luar, melainkan teknologi yang dulu mereka curigai. Penceramah kalah bersaing dengan layar ponsel, bukan karena ponsel lebih pintar, tetapi karena ponsel lebih jujur dalam memberi pilihan.
Era digital mengubah logika otoritas. Dahulu, penceramah mendapat kuasa karena posisinya di panggung. Kini, otoritas tidak lagi otomatis diberikan. Ia harus dipilih. Seorang ustaz atau kiai hanya akan didengar jika benar-benar relevan, kredibel, dan bebas dari bias kepentingan. Mereka yang sekadar mengulang klise, menjual opini politik, atau bermain-main dengan dalil akan ditinggalkan.
Dengan demikian, penceramah tetap bisa bertahan---tetapi hanya jika ia rela berubah. Ia harus melepaskan peran lama sebagai "sumber tunggal kebenaran" dan bergeser menjadi penuntun pertanyaan, sahabat diskusi, bahkan mitra belajar. Jika tidak, profesi ini akan terus dipertanyakan, hingga suatu saat orang hanya mengingatnya sebagai bagian dari romantisme masa lalu.
Kita kembali pada pertanyaan awal: masih perlukah penceramah di era digital? Jawabannya adalah ya, tetapi dengan syarat. Penceramah yang masih menganggap jamaah sebagai pendengar pasif jelas tidak diperlukan lagi. Penceramah yang menjadikan mimbar sebagai panggung politik juga tidak layak dipertahankan. Yang dibutuhkan adalah penceramah yang mampu beradaptasi: yang sadar bahwa jamaah sekarang bisa memilih, bisa menguji, dan bisa menolak.
Di zaman ini, siapa pun bisa menjadi pencari ilmu mandiri. Ceramah tidak lagi menjadi satu-satunya jalan. Maka, jika penceramah ingin tetap eksis, ia harus berani menerima kenyataan pahit: otoritasnya bukan lagi hak bawaan, melainkan hasil seleksi.
Penceramah tentu masih berguna, sejauh ia mampu menyajikan sesuatu yang tidak bisa diberikan Google: kejujuran, relevansi, dan kerendahan hati. Kalau hanya mengulang ayat dengan tafsir sepotong-sepotong, ponsel bisa melakukannya lebih cepat dan lebih rapi. Dan bedanya, ponsel tidak menagih amplop setelah ceramah.