Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Makassar

Masih Perlukah Penceramah di Era Digital?

19 September 2025   19:26 Diperbarui: 19 September 2025   19:26 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era ketika ilmu agama maupun sains bisa muncul secepat jempol menyentuh layar ponsel, panggung tradisi tetap bertahan dengan segala kesakralan---dan sedikit komedinya. Orang-orang berdesakan mendengar penceramah yang naik mimbar, melafalkan ayat demi ayat dengan intonasi penuh khidmat, seakan malaikat stenografer duduk di sampingnya. Lalu, ketika kata-kata selesai dikhutbahkan, berlangsunglah adegan klasik yang lebih mirip sandiwara jalanan: sebuah amplop berpindah tangan dengan gerakan licin bak copet di terminal. Pemberi menunduk, penerima tersenyum hambar, dan keduanya pura-pura tidak tahu apa yang barusan terjadi---padahal semua mata melihat, hanya sopan santun yang melarang untuk bersuara. Begitulah akhir dari sebuah khutbah yang disebut sakral namun ditutup dengan transaksi yang sangat duniawi.

Pertanyaannya sangat sederhana, meskipun harus dipoles halus agar tidak terdengar mengganggu: masihkah kita membutuhkan penceramah di era digital, ketika ilmu dan tafsir bisa dipilih sendiri tanpa harus menonton drama kecil di balik amplop?

Dahulu, jawabannya tentu "ya". Penceramah adalah jembatan utama antara kitab dan masyarakat awam. Ia menyampaikan apa yang tidak terbaca, menjelaskan apa yang tidak terjangkau, dan menuturkan apa yang tidak bisa diakses. Kehadirannya dianggap mutlak, sebab informasi begitu langka dan terbatas. Jamaah hanya perlu datang, duduk manis, lalu menyerap setiap kata yang keluar dari mulutnya---seakan-akan semua itu datang langsung dari langit.

Namun, sejarah tidak diam. Teknologi melesat lebih cepat daripada laju ceramah pengajian yang biasanya berputar di seputar tema itu-itu saja: sabar, syukur, pentingnya shalat di mesjid, dan jangan lupa infak. Kini, sebuah aplikasi gratis di ponsel dapat menyediakan ratusan tafsir, ribuan ceramah, bahkan kitab-kitab klasik lengkap dengan terjemahannya. Kalau dulu menunggu ustaz keliling seperti menunggu air hujan di musim kemarau, sekarang ilmu bisa turun deras setiap detik, dari mana saja, tanpa harus menengadahkan wajah ke arah mimbar.

Masalah terbesar dari ceramah konvensional adalah sifatnya yang nyaris kebal dari verifikasi. Seorang penceramah bisa memilih ayat tertentu, mengutip potongan hadits yang sesuai dengan agendanya, lalu mengemasnya dengan intonasi penuh wibawa. Jamaah, yang terlanjur memandang penceramah sebagai sumber kebenaran, biasanya hanya manggut-manggut. Tidak ada footnote, tidak ada link yang bisa diklik, apalagi fact-checking. Jika pun ada kesalahan tafsir, kebanyakan pendengar tak pernah tahu, apalagi berani menggugat.

Bandingkan dengan internet. Seseorang yang ingin belajar bisa langsung membuka beberapa tafsir sekaligus, mengecek terjemahan alternatif, bahkan menelusuri perdebatan ulama dari abad ke abad. Ketika informasi disajikan dalam bentuk digital, ia lebih mudah ditelusuri ulang. Ada jejak, ada sumber, ada peluang untuk menguji. Ironisnya, yang sering dianggap "kurang sahih" justru lebih transparan dibandingkan ceramah langsung yang diselubungi bias dan pendapat subjektif.

Dengan kata lain, internet justru lebih aman dari manipulasi ketimbang panggung ceramah. Teknologi yang sering dicurigai merusak iman ternyata lebih memberikan ruang kritis, sementara ceramah yang diagungkan sering kali menjebak orang dalam bias kepentingan.

Mari kita jujur sejenak. Tidak sedikit ceramah yang berfungsi lebih sebagai propaganda ketimbang pendidikan. Ada penceramah yang lihai memelintir dalil demi membela partai tertentu. Ada pula yang menjadikan panggung ceramah sebagai arena bisnis: menjual produk, mempromosikan jamaah umrah, atau sekadar menaikkan popularitas agar bisa viral di televisi. Dengan modal sedikit retorika dan kemampuan memilih ayat yang pas, siapa pun bisa berubah menjadi "ustaz instan" yang mendulang keuntungan.

Sementara itu, jamaah menjadi konsumen pasif. Mereka tidak memiliki hak pilih kecuali datang atau tidak datang. Isi ceramah tidak bisa di-skip, tidak bisa dipercepat, apalagi diulang seperti video YouTube. Tidak ada tombol mute untuk bagian-bagian membosankan. Yang ada hanya keterpaksaan mendengar, bahkan ketika isi ceramah lebih banyak sindiran politik ketimbang penjelasan keagamaan.

Di era digital, semua itu berubah. Seorang pencari ilmu bisa memilih konten sesuai kebutuhan. Jika satu ustaz terlalu banyak berceloteh politik, tinggal pindah kanal. Jika ada yang berbelit-belit, tinggal percepat hingga 2x. Jika ingin tahu kebenaran dalil, tinggal ketik kata kunci lalu bandingkan. Pilihan ada di tangan jamaah, bukan lagi di genggaman penceramah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun