Kita menyaksikan sebuah paradoks: negara yang seolah merdeka menari, tetapi justru semakin terikat pada tuntutan panggung. Joget yang harusnya spontan malah menjadi simbol keterpaksaan baru. Tubuh pejabat, yang dulunya dibekukan oleh protokol, kini dibekukan oleh kamera: ia harus bergerak dengan cara tertentu, pada momen tertentu, demi citra tertentu. Bahkan kebebasan tubuh pun kini menjadi alat politik.
Pada akhirnya, kita harus jujur: semua ini hanyalah candaan yang terlampau serius. Tidak ada senjata di balik panggung, tidak ada surat pemecatan bagi pejabat yang enggan bergoyang. Ancaman itu semu, sekadar bayangan dari ketakutan untuk terlihat kaku. Joget di istana hanyalah permainan citra, hiburan yang dipoles menjadi ritual kenegaraan. Ia menggelitik sekaligus menyedihkan, lucu sekaligus getir. Dan jika suatu hari nanti sejarah menuliskan bab ini, barangkali akan tertulis; bangsa yang lahir dari revolusi dan darah akhirnya memilih untuk merayakan dirinya sendiri dengan pinggul para pejabat yang bergoyang. Sebuah tragedi yang dikemas dalam tawa, sebuah lelucon yang diceritakan dengan wajah serius.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI