Di tengah berbagai kemajuan teknologi pangan dan gempuran tren kuliner kekinian yang penuh lampu LED dan hashtag Instagramable, kue pukis tetap bertahan. Ia tak pernah berubah. Bentuknya tetap setengah lingkaran, teksturnya kenyal, dan belahannya... yah, belahan yang tak pernah gagal memantik tafsir ringan di sela lapar dan lelah.
Sebagian orang mungkin bertanya, mengapa harus membicarakan pukis lagi? Bukankah cukup sekali saja kita menjadikannya bahan refleksi moral dan lelucon visual? Justru di situlah masalahnya. Pukis terlalu tenang untuk dilupakan, dan terlalu jujur untuk diabaikan. Ia hadir tanpa pretensi, namun bentuknya seolah ingin berkata: "Saya sederhana, tapi silakan pikirkan saya dengan caramu masing-masing."
Pukis adalah kue yang tidak punya ambisi naik kelas. Ia tidak iri pada croissant, tidak mencoba meniru cheesecake, apalagi ikut-ikutan menyebut dirinya "fusion". Pukis tetap setia pada cetakan lamanya---cetakan besi berderet seperti kolam-kolam kecil untuk adonan nakal yang mengembang di tempat sempit. Ia tahu dirinya bukan makanan mewah. Tapi justru karena itulah, pukis bisa dinikmati siapa saja, tanpa dress code, tanpa standar moral tinggi.
Bagian paling menarik dari pukis tetap terletak pada bagian atasnya---sebuah belahan alami hasil pengembangan adonan, yang secara teknis wajar, namun secara visual penuh pertimbangan estetika. Di situ, topping diletakkan: meses, keju, kadang kacang. Penempatan yang seolah berkata, "Ini bagian utama, silakan fokus di sini." Sebuah penegasan diam-diam bahwa belahan tidak selalu harus ditutup, kadang cukup diberi taburan manis agar diterima semua kalangan.
Meski kue ini akrab dengan anak-anak, justru orang dewasa yang sering kesulitan bersikap tenang di hadapannya. Tidak sedikit yang memakan pukis dengan ragu: apakah harus mulai dari pinggir dengan sopan santun, atau langsung menuju bagian tengah dengan penuh semangat? Bahkan, cara makan pukis bisa digunakan sebagai uji karakter: mereka yang santai biasanya memulai dari pinggir, sementara yang impulsif langsung menyerbu bagian yang menganga. Psikolog barangkali perlu meneliti ini lebih lanjut.
Namun pukis tidak pernah meminta kita bersikap formal. Ia bisa dibungkus plastik, dibeli satuan, dan dimakan sambil berdiri di emper toko. Tidak ada protokol, tidak ada adab tertentu. Justru dalam kesederhanaannya, pukis menjadi camilan yang membebaskan. Kita boleh menafsir, boleh tertawa geli sendiri, atau diam-diam berpikir terlalu jauh. Semuanya sah. Pukis tidak akan menghakimi.
Lucunya, di zaman ketika segala hal bisa memicu kontroversi, pukis tetap aman dari perdebatan publik. Ia tidak dibahas dalam sidang paripurna, tidak masuk daftar yang harus disensor KPI, dan tidak dilabeli sebagai makanan dengan nilai-nilai tertentu. Ia netral. Tapi netralitas itulah yang membuatnya kuat---belahan pukis diterima oleh semua pihak, lintas golongan, bahkan lintas tafsir.
Pada akhirnya, pukis adalah kue yang hidup dalam keikhlasan. Ia tidak menuntut validasi, tidak ngotot jadi pusat perhatian. Tapi diam-diam, ia hadir dalam ingatan kolektif masyarakat sebagai kue yang "biasa saja tapi sulit dilupakan." Bukan karena rasanya semata, tapi karena ia mengizinkan kita berpikir nakal, tertawa kecil, dan tetap makan dengan damai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI