Dalam pelajaran sejarah, kita kerap disuguhi sebuah peta berwarna jingga keemasan yang membentang megah dari ujung Sumatera hingga ke Papua, bahkan sampai menyentuh Semenanjung Malaya, sebagian Filipina, dan Brunei. Peta itu diberi label “Majapahit pada puncak kejayaannya” dan diiringi kisah heroik seorang mahapatih yang bersumpah untuk tidak menikmati "palapa" sebelum seluruh wilayah itu tunduk padanya. Kita diajak untuk percaya bahwa ini adalah gambaran masa lalu yang nyata, sebuah memori kolektif bangsa yang patut dibanggakan.
Namun, ketika peta tersebut disandingkan dengan peta Hindia Belanda yang dibuat pada penghujung abad ke-19, kemiripan garis, bentuk, dan cakupan wilayahnya begitu mencolok sehingga sukar dipercaya bahwa keduanya lahir dari dua zaman yang berbeda. Seolah-olah peta kolonial itu hanya menyalin pekerjaan rumah Gajah Mada, atau sebaliknya, Sumpah Palapa hanyalah ringkasan visi-misi gubernur jenderal Hindia-Belanda.
Kesamaan bentang wilayah ini terlalu rapi untuk dianggap kebetulan. Baik Majapahit versi buku teks maupun Hindia Belanda versi arsip kolonial sama-sama membentangkan kekuasaan yang mencakup seluruh kepulauan yang sekarang disebut Indonesia, lengkap dengan klaim eksternal yang menunjukkan ambisi lebih jauh daripada batas laut terdekat. Dalam kedua peta itu, Sulawesi, Maluku, dan Papua tidak lagi berdiri sebagai entitas mandiri dengan sejarah dan logika politiknya sendiri, melainkan titik-titik di bawah satu warna. Keseragaman warna pada peta itu adalah bahasa visual kekuasaan: semua ini adalah milik pusat, dan pusat itu tentu saja berada di Jawa.
Logika yang digunakan dalam peta Majapahit bukanlah logika jaringan pelabuhan abad ke-14 yang longgar dan saling bergantung. Ia bukan pertemuan dagang antarbangsa pesisir, bukan pula ikatan adat yang cair dan saling mengakui kedaulatan. Sebaliknya, ia adalah logika sentralisasi kekuasaan yang ketat, model imperium yang memproyeksikan kontrol mutlak dari pusat ke daerah-daerah. Inilah logika yang sangat akrab bagi para perancang Hindia Belanda. Batavia dalam peta kolonial berfungsi persis seperti Trowulan dalam peta Majapahit versi cetakan: jantung administratif yang mengirim perintah ke seluruh pelosok dengan asumsi bahwa perintah itu harus dipatuhi.
Sumpah Palapa, yang menjadi sumber narasi penaklukan ini, jika dibaca dengan sedikit kecurigaan, tampak lebih menyerupai dokumen proyek daripada seruan patriotik. Penyebutan satu per satu wilayah sasaran penaklukan terdengar seperti daftar target dalam rapat kerja tahunan. “Belum akan menikmati palapa sebelum Gurun, Seram, Tumasik, dan seterusnya masuk,” demikian kira-kira intinya.
Sulit membayangkan seorang pejabat kerajaan abad ke-14 menghafal nama-nama pulau sejauh itu tanpa peta dunia modern di hadapannya. Lebih mudah membayangkan seorang penulis abad ke-19, duduk di meja arsip Batavia, menyalin daftar wilayah dari catatan pelayaran kolonial, lalu menyelipkannya ke dalam teks kuno dengan huruf Jawa Kuno yang mengundang kekaguman.
Bahwa sumber-sumber ini mulai “ditemukan” dan dipublikasikan di masa puncak kolonialisme menambah aroma rekayasa. Negarakretagama yang dijadikan bukti utama baru terbit di bawah kendali akademisi Belanda, lengkap dengan terjemahan dan interpretasi yang mempertegas gagasan “penyatuan Nusantara” sebagai misi bersejarah. Ironisnya, gagasan ini selaras sempurna dengan proyek politik kolonial: jika Belanda berhasil menguasai seluruh wilayah ini, mereka bisa mengklaim bahwa mereka hanya melanjutkan dan memulihkan kejayaan yang sudah ada sebelumnya. Penjajahan pun dapat dipasarkan sebagai restorasi, bukan invasi.
Peta, dalam konteks ini, bekerja sebagai alat persuasi visual. Ia tidak sekadar memetakan ruang, tetapi membentuk cara berpikir kita tentang ruang itu. Peta Majapahit versi sekolah adalah peta Hindia Belanda yang diganti label dan warnanya. Garisnya sama, wilayahnya sama, dan bahkan logika ekspansinya sama. Bedanya, yang satu dibungkus mitos kejayaan leluhur, yang satu dibungkus administrasi kolonial. Perbedaan bungkus ini membuat kita melupakan bahwa isi di dalamnya identik: ide bahwa gugusan pulau yang berbeda bahasa, adat, dan politiknya ini secara alami harus berada di bawah satu kekuasaan pusat.
Kemiripan itu seharusnya membuat kita curiga. Tetapi alih-alih memeriksanya, kita justru menghafalkannya. Dari SD hingga universitas, kita menelan mentah-mentah peta dan sumpah itu sebagai bagian dari identitas nasional. Kita bahkan mencetaknya di poster, monumen, dan halaman depan buku pelajaran. Tanpa sadar, kita menjadi pewaris sah bukan hanya kemerdekaan dari Belanda, tetapi juga konstruksi historis yang Belanda ciptakan untuk membenarkan penjajahannya. Kita bangga pada bayangan yang mereka ciptakan untuk menipu kita.