Tidak, Majapahit tidak memiliki nuklir. Tidak ada rudal hipersonik, tidak ada drone. Tapi ia punya satu senjata yang melebihi semua: sebuah teknologi sosial yang bekerja dalam diam, tanpa letupan, namun menghancurkan tatanan dari dalam.
Senjata ini tidak bisa dilihat, tapi dapat dirasakan. Ia tak meledak, namun membelah masyarakat menjadi dua. Tak bersuara, namun memekakkan akal sehat. Senjata ini bekerja melalui kebiasaan kecil, pengulangan diam-diam, dan kode sosial yang hanya dipahami oleh mereka yang sudah terinisiasi.
Cara kerjanya sangat elegan. Ia menyusup melalui jeda---bukan waktu istirahat, melainkan celah dalam struktur kehidupan. Ia hadir bukan sebagai musuh, melainkan sebagai teman, bahkan hiburan. Ia tumbuh bukan dari pabrik senjata, tapi dari lorong-lorong obrolan, ruang istirahat, dan senyuman samar yang dikodekan. Tak ada pelatihan militer, hanya intuisi sosial yang diasah sejak remaja.
Senjata ini berbentuk permainan dengan waktu dan tubuh, dijalankan dalam suasana kasual, namun efeknya bisa melumpuhkan lembaga, menggoyahkan komunitas, bahkan mengaburkan batas antara etika dan strategi. Ini adalah senjata yang menjadikan pelaku dan korban sebagai dua sisi dari cermin yang sama. Tak ada peluru, hanya keputusan-keputusan kecil yang diambil dalam kesenyapan, tapi menggiring masyarakat ke arah tertentu---perlahan, pasti, tak terhentikan.
Tak ada rudal yang bisa menangkalnya. Tak ada sistem pertahanan Iron Dome yang bisa mendeteksi isyarat tubuh, intonasi bisik, atau perubahan nada tawa. Senjata ini bekerja seperti virus linguistik: menyebar melalui metafora, terselip dalam lelucon, disamarkan dalam warna pakaian atau nada panggilan. Mereka yang terinfeksi tidak batuk, hanya berubah cara berpikir dan merasa---dan tiba-tiba, nilai-nilai tak lagi sakral, struktur runtuh tanpa ada yang menggoyang.
Lebih menarik lagi, senjata ini diwariskan. Tidak dengan kurikulum atau pelatihan militer, melainkan dengan pengulangan simbolik dan penguatan budaya. Ia tidak butuh propaganda besar-besaran. Cukup dengan satu cerita lucu, satu kebiasaan yang dianggap "lumrah", dan satu struktur sosial yang membiarkan.
Jika Israel bisa menembak roket di langit, Majapahit bisa menembak kewarasan di ruang rapat. Jika Rusia mengintai lewat satelit, warisan Majapahit mengintai lewat mata-mata sosial yang tidak perlu dipekerjakan. Jika Hamas mengguncang tembok perbatasan, senjata sosial ini mengguncang tembok identitas.
Dan semua itu dilakukan tanpa letupan. Tanpa drone. Tanpa sanksi internasional. Hanya dengan kode, waktu, dan tubuh yang bersedia memainkan perannya dalam panggung sosial yang tak pernah benar-benar diumumkan. Inilah kekuatan sejati: ketika senjata tak lagi perlu diciptakan, karena ia telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Ketika kehancuran tak lagi dibayangkan sebagai ledakan, tapi sebagai penghapusan makna.
Kita bisa menghabiskan milyaran dolar untuk sistem pertahanan canggih. Kita bisa mengembangkan drone yang bisa memutuskan sendiri targetnya. Tapi kita tak akan pernah siap menghadapi senjata yang menyerang dari dalam, dalam bentuk kebiasaan, humor, atau norma yang dibengkokkan. Dunia mempersenjatai dirinya dengan baja dan nuklir, tapi senjata sejati mungkin justru adalah ritus sosial yang diwariskan dari narasi sejarah yang diciptakan untuk menyamarkan peluncur senjata paling tak kasatmata dalam sejarah manusia.
Satu isyarat. Satu celah. Satu jeda. Dan senjata itu telah diluncurkan --- tanpa suara, tanpa asap, tanpa sisa bubuk mesiu, tapi dengan efek yang jauh lebih mematikan dari ledakan: perpecahan halus, kebingungan moral, dan struktur sosial yang remuk dari dalam.Â
Dan mungkin, justru itulah senjata pemusnah massal yang paling berhasil dalam sejarah.