Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bambu Runcing dan Tugu Pensil: Simbol dan Politik Makna dalam Narasi Sejarah Nasional

6 Agustus 2025   21:15 Diperbarui: 6 Agustus 2025   21:44 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pens (Kredit: Martin Blunt/Flickr) 

Bayangkan sebuah negara yang berhasil menggantikan ingatan rakyatnya dengan gambar bambu runcing dan tugu pensil. Negara itu tak perlu lagi melarang, mengawasi, atau mengekang. Cukup mendikte simbol, dan membiarkan masyarakat menginternalisasi makna. Dalam psikologi politik, ini disebut sebagai bentuk internalized control, kekuasaan yang tidak perlu hadir karena sudah ditanamkan dalam bentuk tanda.

Mari kita kembali ke tugu pensil. Secara arsitektural, tugu itu tampak sederhana. Ia tidak seangkuh Menara Eiffel atau semegalomania Burj Khalifa. Tapi dalam kesederhanaannya, ia menyimpan kekuatan yang tidak kalah besar. Ia berdiri sebagai monumen terhadap "sesuatu" yang tidak sepenuhnya dapat kita rekonstruksi. Apakah kita benar-benar tahu apa yang terjadi pada 10 November 1945? Siapa yang berperang melawan siapa? Siapa yang mati dan siapa yang kemudian diberi gelar? Apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul karena simbol sudah menggantikan narasi. Tugu menjadi pengganti sejarah. Kita tak lagi diajak untuk bertanya, tapi hanya untuk mengenang. Dan mengenang, dalam konteks kekuasaan, sering kali adalah tindakan yang sudah dikurasi. Ia seperti album foto keluarga---hanya memperlihatkan momen bahagia dan menyembunyikan pertengkaran di balik layar.

Di sisi lain, rakyat kecil yang tidak memiliki akses pada narasi resmi, justru sering memainkan simbol dengan lebih bebas. Mereka menjadikan bambu runcing sebagai nama warung, nama klub sepak bola lokal, bahkan nama band. Ini bukan penghinaan. Ini cara rakyat untuk mengembalikan simbol kepada kehidupan sehari-hari, melepaskannya dari cengkeraman sakralisasi negara. Tugu Pahlawan jadi titik janjian, lokasi konten TikTok, tempat nongkrong remaja. Sekali lagi, ini bukan dekadensi. Ini bentuk folk resistance terhadap dominasi makna.

Jika pemerintah ingin agar rakyat terus mengagungkan simbol-simbol nasional, maka simbol itu harus dibiarkan hidup. Tapi jika simbol itu dibakukan, dipatungkan, diupacarakan setiap tahun dengan wajah-wajah yang sama dan pidato yang di-copy-paste dari tahun lalu, maka simbol itu akan mati---dan mati dalam diam. Bambu runcing akan tinggal menjadi siluet di buku pelajaran. Tugu pensil akan tinggal menjadi latar belakang Google Maps.

Dan inilah ironi terbesar dari nasionalisme simbolik: ketika simbol sudah terlalu sering digunakan, ia kehilangan makna. Ketika semua hal bisa disebut "semangat bambu runcing"---dari turnamen e-sport sampai program P5 di kurikulum Merdeka---maka yang terjadi bukanlah penguatan nasionalisme, tapi banalisasi makna. Simbol menjadi klise. Dan klise, dalam dunia kritik, adalah bentuk kematian ide.

Tapi seperti kata Derrida, tidak ada makna yang benar-benar mati. Yang ada hanyalah pergeseran dan penundaan. Maka tugas kita sebagai pembaca sejarah bukan mencari makna yang "asli" dari bambu runcing atau tugu pensil, melainkan membaca celah-celahnya, kekosongannya, absurditasnya. Karena justru di situlah kita menemukan peluang untuk menyusun narasi baru.

Barangkali memang benar: sejarah Indonesia tidak ditulis dengan senjata, tapi dengan pena. Tapi pena itu terbuat dari bambu, dan tintanya adalah air mata, keringat, dan sedikit tinta hitam yang diselundupkan dari Singapura. Barangkali memang benar: kita tidak sedang mengenang pertempuran, tapi sedang mengarsipkan perasaan tentang pertempuran itu. Dan perasaan itu, seperti semua perasaan dalam sejarah, mudah dibajak, mudah disensor, mudah dibingkai.

Dengan demikian, jika kita ingin membebaskan sejarah dari kerangkeng simbol, maka kita harus membebaskan simbol dari monopoli makna. Kita harus membiarkan bambu runcing menjadi apa pun: pena, tombak, sedotan, atau bahkan alat musik. Kita harus membiarkan tugu pensil dibaca sebagai pensil warna, peluru, atau bahkan spidol yang sudah kering. Karena kebebasan bersejarah dimulai dari kebebasan membaca.

Dan di akhir permainan ini, kita menyadari bahwa sejarah Indonesia adalah semacam teka-teki silang, di mana jawabannya sudah ditulis di buku pegangan guru, tapi petunjuknya disebar dalam bentuk upacara, lagu wajib, dan mural sekolah dasar. Kita menghafal, tapi tidak memahami. Kita merayakan, tapi tidak mempertanyakan. Kita bangga, tapi diam-diam bosan.

Maka satu-satunya jalan keluar dari kejenuhan nasionalisme simbolik adalah: membaca ulang simbol dengan tawa. Karena satire adalah bentuk tertinggi dari cinta. Ketika kita menertawakan bambu runcing, bukan berarti kita menghinakan perjuangan. Justru dengan menertawakan, kita menyelamatkannya dari kepunahan makna. Kita menjadikan simbol hidup kembali---bukan di altar kekuasaan, tapi di panggung masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun