Mohon tunggu...
Tanjaya Mahasiswa
Tanjaya Mahasiswa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Konten Arsitektur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gereja Sion sebagai Cagar Budaya

15 Oktober 2024   17:13 Diperbarui: 15 Oktober 2024   17:28 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEKILAS GEREJA SION

Gereja Sion atau dikenal juga dengan nama Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis Luar (Tembok Kota) berada di Jakarta Utara, tepatnya di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua Raya, tak jauh dari Stasiun Jakarta Kota. 

Pada masa kolonial Belanda, gereja ini juga punya sebutan lain yakni 'Belkita' yang artinya 'di luar (tembok) kota'. Sudah berdiri sejak abad ke-17 membuat gereja ini menjadi salah satu yang tertua di Jakarta dan juga Asia Tenggara. 

Namanya Gereja Portugis, tetapi tidak didirikan oleh orang Portugis, melainkan orang Belanda bernama arsitek Ewout Verhagen. Belanda membangun Gereja Sion ini diperuntukkan bagi kaum Portugis Hitam (Mardijkers) yang dibawa dari tanah jajahan mereka di Asia. 

Orang-orang itu dibawa Belanda dengan status budak. Sesampainya di Batavia, Belanda menawarkan kemerdekaan bagi mereka dari status sebagai budak dengan syarat mereka mau berpindah agama dari Katolik (agama resmi bangsa Portugis) menjadi Kristen Protestan. Ketika mereka bersedia, Belanda lalu membuatkan gereja yang pada awalnya bernama De Nieuwe Portugeesche Buitenkerk ini. 

Kaum Portugis Hitam inilah yang nantinya akan menjadi cikal bakal leluhur penghuni Kampung Tugu di Semper, Jakarta Utara. Di sisi lain, Gereja Sion dibangun sebagai pengganti sebuah pondok terbuka yang sangat sederhana. 

Pondok ini sudah tak memadai bagi warga Portugis Hitam. Para tawanan Portugis dan para budak dari India, Portugis Mardijkers berstatus tawanan yang berasal dari Malaya dan India untuk beribadah. 

Sebagai tawanan, mereka dibawa ke Batavia oleh VOC bersamaan dengan jatuhnya wilayah kekuasaan Portugis di India, Malaya, Sri Lanka, dan Maluku. Dulu, di sekitar gereja ada ribuan makam. Sebagian yang dikuburkan di sana adalah korban aneka wabah yang melanda Batavia.

Gereja Sion selesai dibangun pada 1695 untuk menggantikan pondok kayu sederhana yang sudah tidak memadai bagi umat Portugis Hitam. Pembangunan fisik memakan waktu sekitar dua tahun di mana peletakan batu pertamanya dilakukan anak Gubenur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Pieter van Hoorn, pada 19 Oktober 1693. 

Peresmian gedung gereja dilakukan pada Minggu, 23 Oktober 1695, dengan dihadiri gubernur jenderal Willem van Outhoorn dan pemberkatan oleh Pendeta Theodorus Zas.

Pada masa pendudukan Jepang, bala tentara Dai Nippon ingin menjadikan gereja ini tempat abu tentara yang gugur. Setelah Indonesia merdeka, Portugeesche Buitenkerk berganti nama menjadi Gereja Portugis. 

Sebagai peralihan kekuasaan pemerintahan, Pemerintahan Belanda memberikan kepercayaan pengelolaan aset peninggalannya kepada Gereja-gereja Protestan di Indonesia (GPI). Wilayah pelayanan GPI pada bagian barat Indonesia diemban oleh Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat (GPIB).

 Maka, pada persidangan Sinode GPIB tahun 1957 Gereja Portugis, diputuskan untuk bernama GPIB Jemaat Sion dan masyarakat kini mengenal bangunan itu dengan Gereja Sion. 

Sion berasal dari nama sebuah bukit di daerah Palestina berbahasa Ibrani dan merupakan lambang keselamatan pada bangsa Israel kuno. Pada 1984, halaman gereja menyempit karena harus mengalah pada kepentingan pelebaran jalan. Usianya sudah 300 tahun lebih, tetapi Gereja Sion masih kokoh berdiri. 

Bangunan ini telah terbukti tahun guncangan gempa yang berkali-kali mengguncang Batavia. Rahasia kekuatan bangunan gereja Sion terletak pada pondasinya. Gereja tua ini ditopang 10.000 kayu dolken bulat sebagai pondasi bangunannya.

Sumber : Dokumen Pribadi
Sumber : Dokumen Pribadi

GEREJA SION SEBAGAI CAGAR BUDAYA

Pengertian Cagar Budaya dalam UURI No. 11 Tahun 2010 : "Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan." Berdasarkan Undang-Undang bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan atau yang biasa disebut dengan bersifat tangible. 

Artinya bahwa warisan budaya yang masuk ke dalam kategori Cagar Budaya adalah warisan budaya yang berwujud konkrit, dapat dilihat dan diraba oleh indra, mempunyai massa dan dimensi yang nyata. Contohnya batu prasasti, candi, nisan makan, dll. Warisan budaya yang bersifat intangible seperti bahasa, tarian dan sebagainya tidak termasuk pada kategori Cagar Budaya.  

Cagar budaya memiliki golongan kelas; Bangunan cagar budaya kelas A adalah bangunan yang harus dipertahankan sesuai bentuk aslinya. Kelas B adalah bangunan cagar budaya yang dapat diputar dengan cara restorasi, kelas C dapat diubah dengan tetap mempertahankan tampak bangunan utama.  

Sedangkan kelas D dapat dibongkar dan dibangun seperti semula, karena kondisinya membahayakan penghuni dan lingkungan sekitarnya. Gereja Sion sendiri sekarang masuk ke dalam cagar budaya kelas A yaitu bangunan bersejarah yang dipertahankan keasliannya dikarenakan mengandung nilai sejarah. 

Bangunan dan isi di dalamnya pun dijaga dan dirawat hingga masih dapat digunakan sampai saat ini.  Bangunan ini dapat dikunjungi dan dijadikan tujuan wisata religi  secara terbuka untuk umum.

ANALISIS INTERIOR GEREJA

Gereja Sion merupakan gereja tertua di Jakarta. Arsitektur kuno, dan relief bangunan khas Belanda masih terpampang nyata ketika menyambangi bangunan tua ini. 

Gereja inilah yang menjadi saksi biksu di mana dulunya ada tembok Batavia yang dipasang Belanda, dan gereja ini dibangun di luar tembok tersebut untuk digunakan sebagai tempat beribadah tawanan Portugis.

Saat menginjakan kaki ke dalam gereja, Anda akan disambut dengan puluhan kursi kayu pendek dan kecil yang merupakan kursi untuk umat. Rupanya kursi ini sudah ada sejak gereja dibuat, namun masih kokoh dan tidak lapuk. Ada juga kursi panjang seperti di balai persidangan, dan kursi kecil setengah bundar. Kursi tersebut biasanya digunakan oleh majelis di zaman itu, dan masih sangat terjaga.

Juga terdapat kursi para pejabat VOC pada jamannya. Kursi ini berada di pojok ruangan, sebelah kursi panjang. Kursi lebih tinggi dibandingkan kursi umat, dan bentuknya gagah. Dari sejarah, kursi ini dulunya digunakan pejabat VOC ketika datang berdoa di gereja. 

Bentuknya juga masih kokoh, dan tidak lapuk. Kursi itu kini tidak digunakan karena untuk menjaga dan melestarikan nilai sejarah yang dituangkan di atas kursi.

Di tengah gereja ada sebuah mimbar dengan siluet seperti cawan, dengan ukiran perunggu yang terlihat sudah usang, namun masih kokoh. Cawan itu kemudian ditutupi oleh sebuah kanopi tinggi dengan dua pilar.

Cawan ini juga sudah lama , dan merupakan bentuk sumbangan untuk gereja yang diterima di abad ke 18. Masih sangat kokoh, dan juga megah sekali mimbarnya.

Sumber : Dokumen Pribadi
Sumber : Dokumen Pribadi

Jika melihat di bagian dinding ada beberapa pajangan, yang ternyata itu merupakan sebuah plakat bersejarah, di mana orang penting dan elite jaman dulu memasang plakat sesuai dengan kelas mereka. Plakat kecil merupakan persembahan dari tokoh-tokoh di Belanda. Sedangkan plakat yang besar merupakan persembahan dari gubernur Belanda saat itu.

Gereja Sion memiliki sejumlah barang-barang antik yang dijaga keasliannya sampai sekarang. Salah satunya ialah Organ Sion (biasa juga dipanggil "orgel" dari bahasa Belanda untuk organ pipa "orgelpijp") menurut plakat kecil yang ada pada bagian depan organ berdiri sejak 1 Agustus MDCCCLX (1860 dalam angka arab) dan dibangun oleh orgelbauer (sebutan untuk pembuat organ pipa) E. F. Rijkmans. 

Plakat kuningan kecil itu sendiri berbunyi "Anno MDCCCLX Auguste 1; Organa hoec suo; Opere refecta, in solita sede loranda curavit E. F. RIJKMANS; urbana ecclesia organions" yang jika diterjemahkan secara kasar ke dalam bahasa Indonesia berarti, "1 Agustus tahun 1860; inilah organ mereka; telah diperbaiki, dalam perawatan rutin E. F. Rijkmans pembuat organ gereja perkotaan". 

Tetap berdiri dan beroperasi hingga saat ini mencapai usia 160 tahun (2020), maka Organ Sion menjadi salah satu organ dan alat musik tertua yang masih beroperasi di Indonesia.

Organ ini merupakan pemberian dari putri dari Pendeta John Maurits Moor. Menurut sejarah yang dihimpun Rudi van Straten dari Sounding Heritage Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda, organ ini merupakan pindahan dari Gereja Kota yang kemudian hancur karena serangan serangga pada konstruksi kayunya. 

Organ pada gereja tersebut kemudian dipindahkan ke Portuguese Buitenkerk dan diperbesar dengan penambahan menara pedal (dua menara pipa berukuran panjang yang merupakan pipa-pipa pedal

Pedal Organ Gereja Sion yang dimainkan dengan kedua kaki oleh organis di kiri dan kanan bagian depan/fasad). Konsol (bagian untuk memainkan organ pipa, terdiri atas keyboard dan pedalboard/pedal) dahulu berada di depan organ, dan saat ini sisa lubang tombol register (jenis-jenis suara) masih terlihat. 

Organ Sion kemudian mengalami renovasi besar pada 1930 oleh perusahaan Fa Bekker & Lefbre yang berbasis di daerah Weltevreden atau Gambir saat ini.

Fasad Organ Gereja Sion yang bergaya barok. 

Keindahan luar biasa pada Organ Sion adalah arsitektur yang penuh dengan hiasan indah gaya barok (gaya arsitektur yang penuh hiasan, dimulai sekitar akhir abad ke-16 di Eropa). Patung-patung malaikat kecil di fasad serta ornamen megah ala barok mampu mendatangkan keindahan dan keagungan pada Organ Sion. 

Arsitektur Organ Sion sedemikian rupa sehingga tampak kompak dengan arsitektur Gereja Sion lainnya yang juga kental dengan gaya barok, seperti mimbar cawan dan ornamen-ornamen mimbar. 

Masih beroperasinya Organ Sion membuat organ ini menjadi satu-satunya organ gaya barok di Indonesia yang masih aktif. Suara pipa yang sangat merdu dan khas juga menjadi keindahan tersendiri di kalangan organis, jemaat, dan pendengar.

Organ beroperasi dengan sistem pneumatik (tube pneumatic action) yang sering digunakan dalam dunia pembuatan organ pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. 

Sistem ini menggunakan pipa timbal untuk menghubungkan kunci dan pedal ke katup yang mengontrol aliran udara ke pipa organ. Sebelum diperbaharui oleh Fa Bekker & Lefbre pada tahun 1930, Organ Sion menggunakan sistem mekanis aksi pelacak yang menggunakan tautan untuk menghubungkan kunci dan pedal ke katup. Mekanisme tersebut kemudian memungkinkan pipa menghasilkan nada dan suara yang diinginkan.

PELESTARIAN CAGAR BUDAYA GEREJA SION : TINJAUAN PERATURAN DAN IMPLEMENTAS

Gereja Sion, sebagai salah satu bangunan bersejarah di Indonesia, telah melalui berbagai fase perawatan dan pemeliharaan dalam upaya menjaga nilai kesejarahan, arsitektur, dan budayanya. Berdasarkan berbagai regulasi yang mengatur pelestarian cagar budaya di Indonesia, status Gereja Sion sebagai Cagar Budaya Kelas A memperkuat posisinya sebagai warisan sejarah yang harus dijaga. Penetapan ini telah melalui tahapan administratif sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya serta berbagai peraturan lainnya.

STATUS CAGAR BUDAYA DAN TANGGUNG JAWAB PEMELIHARAAN

Sesuai PP Nomor 1 Tahun 2022, bangunan ini telah resmi terdaftar sebagai Cagar Budaya dengan peringkat kelas A melalui Surat Keputusan (SK) Menteri, yang sebelumnya hanya diakui melalui SK Gubernur pada tahun 1972. 

Penetapan ini menandai pentingnya bangunan ini tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai situs budaya yang mencerminkan sejarah panjang hubungan kolonial dan perkembangan Kristen di Indonesia. Pasal 43 dari PP tersebut menegaskan bahwa status dan peringkat Cagar Budaya harus dicatat dalam Register Nasional, yang memastikan bahwa bangunan seperti Gereja Sion memiliki perhatian nasional.

Pasal 90 dari PP yang sama menegaskan bahwa biaya pemeliharaan Cagar Budaya dibebankan kepada pemilik dan/atau pengelola, yang dalam hal ini adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). 

Di lapangan, pengelolaan ini terlihat dalam bentuk pemeliharaan rutin dan penyediaan kotak persembahan sebagai sumber dana perawatan gereja. Hal ini selaras dengan Pasal 92 yang mengatur tentang perawatan rutin dan pencegahan kerusakan, termasuk pembersihan bangunan secara berkala. 

Di Gereja Sion, keberadaan petugas yang merawat kebersihan bangunan serta memeriksa kondisi fisik sarana prasarana mencerminkan kepatuhan terhadap regulasi ini.

NILAI SEJARAH DAN ARSITEKTUR YANG HARUS DIJAGA

Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 10 memperkuat kriteria pelestarian, terutama dalam menjaga keaslian dan fungsi ruang yang tidak berubah selama lebih dari 50 tahun. 

Gereja Sion, yang telah difungsikan sebagai tempat ibadah selama lebih dari 300 tahun, masih mempertahankan tata letak asli ruangannya. Ini menunjukkan konsistensi dalam pelestarian fungsi dan arsitektur bangunan, di mana setiap elemen dari bangunan ini dipertahankan untuk menjaga nilai otentiknya.

Seperti yang diatur dalam PERMEN PUPR No. 1 Tahun 2015, rehabilitasi bangunan cagar budaya harus dilakukan dengan upaya pemulihan yang tetap mempertahankan nilai kesejarahan dan arsitektur. 

Pada Gereja Sion, restorasi besar terakhir terjadi pada tahun 2002, di mana pengecatan ulang dilakukan tanpa mengubah susunan atau struktur aslinya. Restorasi ini memperlihatkan komitmen untuk menjaga keaslian bangunan sebagaimana diamanatkan oleh regulasi tersebut.

TANGTANGAN DALAM PENGELOLAAN ARTEFAK BERSEJARAH

Selain fungsi gerejanya, Gereja Sion juga menyimpan banyak artefak bersejarah, seperti prasasti, simbol, dan benda-benda lain yang bernilai sejarah tinggi. Namun, menurut PP Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum, setiap benda cagar budaya yang disimpan harus dicatat dalam buku registrasi dan inventarisasi museum.

 Di sini terdapat tantangan, karena benda-benda bersejarah yang ada di dalam gereja belum dikelola secara sistematis sesuai peraturan. Pendataan dan pelabelan benda-benda tersebut perlu ditingkatkan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan, mengingat pentingnya nilai sejarah dari benda-benda tersebut.

Sumber : Dokumen Pribadi
Sumber : Dokumen Pribadi

ANALISIS IMPELMENTASI STATUS GEREJA SION SEBAGAI CAGAR BUDAYA

- PP NOMOR 1 TAHUN 2022 REGISTER NASIONAL DAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PASAL 43

"Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan menyampaikan Penetapan status Cagar Budaya dan peringkat Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ke dalam Register Nasional untuk dilakukan Pencatatan"

Implementasi : Dari data Kemendikbud, bangunan Gereja Sion ini sudah terdaftar sebagai Cagar Budaya kelas A melalui SK tingkat Menteri terkait, yang sebelumnya hanya sampai di tingkat SK Tingkat Gubernur pada 1972.

- PP NOMOR I TAHUN 2022 TENTANG REGISTER NASIONAL DAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PASAL 90

"Biaya Pemeliharaan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dibebankan kepada pemilik dan/atau Setiap Orang yang menguasai."

Implementasi : Sesuai kondisi di lapangan, Cagar Budaya ini dikelola pleh GPIB. Ditemukan banyak kotak persembahan di dalam bangunan sebagai sumber dana perawatan Gereja.

- PP NOMOR I TAHUN 2022 TENTANG REGISTER NASIONAL DAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA, PASAL 92

"Perawatan untuk tujuan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9I dengan cara pembersihan rutin setiap hari atau berkala."

Implementasi : Saat kami berkunjung terdapat petugas yang rutin merawat bangunan gereja ini. Baik kebersihan bangunan, lingkungan, dan pengecekan kondisi sarana dan prasarana bangunan.

- UU NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA PASAL 10, POINT

b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun; 

c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;

Implementasi : Fungsi atau penataan ruang tidak berubah dalam setidaknya 50 tahun terakhir. Kondisi masih otentik dengan layout ruang Gereja. Dalam hal ini bangunan difungsikan sebagai gereja sejak awal dibangun setidaknya dalam 300 tahun.

- PERMEN PUPR No. 1 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan, pasal 15 ayat 5 :

"Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui upaya pemulihan kondisi suatu bangunan gedung cagar budaya agar dapat dimanfaatkan secara efisien untuk fungsi kekinian dengan cara perbaikan atau perubahan tertentu dengan tetap menjaga nilai kesejarahan, arsitektur, dan budaya."

Implementasi : Sebagai bangunan Cagar Budaya Tingkat A. Bangunan Gereja cenderung masih dalam keadaan asli. Gereja Sion sempat beberapa kali mengalami restorasi besar, yakni pada 1725, 1920, 1976, dan terakhir pada 2002. Renovasi terakhir dilakukan hanya dengan memperbarui cat bangunan tanpa merubah susunan apapun.

- PP NOMOR 19 TAHUN 1995 TENTANG PEMELIHARAAN DAN PEMANFAATAN BENDA CAGAR BUDAYA DI MUSEUM, pasal 4

(1) Setiap benda cagar budaya yang disimpan di museum dicatat dalam buku registrasi dan buku inventarisasi museum.

(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat sekurang-kurangnya keterangan : a. nama benda cagar budaya; b. cara perolehan; c. asal usul benda cagar budaya; d. keterangan lain yang dianggap perlu."

Implementasi : Walaupun bukan sebagai museum, Gereja ini menyimpan banyak benda benda cagar budaya seperti artefak, Symbol, Prasasti,dll. Namun masih belum terorganisir sesuai pasal tertera (Penyimpanan dan Pendataan/Label). Yang menurut kami perlu lebih diperhatikan.

KESIMPULAN

Gereja Sion adalah salah satu bangunan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi bagi Indonesia, baik dari segi arsitektur maupun sejarah keagamaan. Kepatuhan terhadap peraturan pelestarian cagar budaya telah ditunjukkan melalui perawatan rutin, pemeliharaan keaslian struktur bangunan, dan restorasi yang berhati-hati. 

Namun, upaya pendataan artefak sejarah yang dimiliki gereja perlu diperbaiki agar sesuai dengan standar pelestarian benda cagar budaya. Dengan langkah-langkah ini, Gereja Sion dapat terus dipertahankan sebagai warisan sejarah yang lestari di tengah perkembangan zaman.

REFERENSI :

     Kaawoan, Yesinta. (2017). SEJARAH JEMAAT GEREJA MASEHI INJILI DI MINAHASA SION TELING SENTRUM MANADO TAHUN 1966-2016  

     Adolf., Heuken, (2003). Gereja-gereja tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

     https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/10/19/sejarah-hari-ini-19-oktober-1693-gereja-sion-jakarta-salah-satu-yang-tertua-di-asia

     https://ntb.ticmpu.id/listings/gereja-sion/

     https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/22/061500265/mengenal-gereja-sion-gereja-tertua-di-indonesia-berdiri-sejak-1693

     https://nasional.kompas.com/read/2009/01/10/04395122/~Sains~Arkeologi?page=all

     https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/GPIB_Sion_Jakarta

     https://silviagalikano.wordpress.com/denah-tampak-muka-dan-penampang-lintang-gereja-sion-dari-buku-gereja-gereja-tua-di-jakarta-oleh-a-heuken-sj-1-2/

     https://travel.okezone.com/read/2017/02/24/406/1626986/barang-barang-antik-dan-bersejarah-di-gereja-sion?page=2

     https://travel.detik.com/cerita-perjalanan/d-5405664/gereja-sion-citarasa-bangunan-gaya-eropa

     https://peraturan.bpk.go.id/Details/297848/perda-prov-dki-jakarta-no-9-tahun-1999

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun