Mohon tunggu...
Tanah Beta
Tanah Beta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

menulislah sebelum dunia menggenggam nafasmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akal dan Batin

17 November 2017   16:24 Diperbarui: 17 November 2017   22:01 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
adam makatita pada kegiatan pameran foto mahasiswa jurnalistik IAIN Ambon. dokpri

Kekerasan seakan menjadi persesuaian dengan lakon kehidupan manusia, dan bahwa yang terpatri dalam benak merupakan perlawanan terhadap diri akan lebih keras dari pada segala yang tertangkap secara ekstra---dari kebiasaan hidup, dijalani. Mungkin lebih baik jika kita mampu menepi segala rong-rongan dan tuduhan yang klimaksnya, memuncak pada keharusan batin secara kolektif.

Bahakan seorang Nietzche mencela segala kekerasan yang terjadi antara akal pikir dengan segala kontradiktif  kehidupan menuju kesempurnaan. Sungguh terlalu ansih bila dari sekian cakapan oleh para filsuf mengenai kesempurnaan hidup melebihi batas zaman. Adalah merupakan ikhtiar tanpa batas dari segala kebajkan hidup setiap manusia.

Nietzche juga pun membumikan segala persoalan peperangan dalam batin tanpa memerankan lakon akal, yang mesti lebih dulu diselesaikan---lebih menyakitkan berperan melawan akal dan batin. Dan segala kebenaran membuat setiap orang dari titik pusat (poros) bumi mulai berbondong-bondong menyuarakan berkeyakinan dengan kematian tuhan atau pun Dia bercakap: "Tuhan Telah Mati" (Paul Davis), seakan ini adalah realitas alam yang menggambarkan keberadaan sesungguhnya.

Melalui "senjakala berhala", ada sebuah episentrum yang coba di kaitkan dengan kehidupan abadi sebelum massehi dulu. Semisal dikata: Socrates hanyalah seorang yang tidak memilki kesabaran dan lebih cepat mengiginkan lenyap dari siklus perdaban bumi. Itu merupakan sebuah lakon yang dipernakan dalam drama, mengenai sungai di aliri kekecewaan yang mengalir deras---ingin menemukan muara, lautan bebas yang tertata rapi.

Semua tergambar jelas dari ketajaman pandang seorang Nietzche terhadap Socrates yang memunculkan abad pengetahuan yunani. datang dengan segala pertanyaan, melawan para cendikia yang hanya mencari sesuap nasi dari pengetahuan---yang dimiliki tanpa berpikir bahwa pengetahuan harus menghegomoni seluruh zaman dalam perkembangan dunia dimasa mendatang.

Tampak pongah terhadap kehidupan yang terpampang jelas, penuh keabsurdan, dan hilang keniscayaan hidup sesungguhnya. Nietzche begitu Gerang tehadap kekerasan internal antara akal dan batin, terhadap hegemoni ketuhanan tanpa makna beriman. Amarah bergeliat dan dilukiskan dalam catatan-catatan kehidupan abad ke 17-an hingga tertutup usia.

Itu! memiliki keterkaitan antara pengabdian terhadap tuhan dengan pendekatan-pendekatan tertentu yang saat ini marak dipakai sebagian orang sebagai langkah pembaptisan batin dengan hasrat yang dilebih-lebihkan. Umpamanya debu cadas yang dipungut dari jalan-jalan dosa yang panjang---yang pernah dialami leluhur kehidupan (manusia pada masa lampau). Terlalu ekstrim.

Namun, Nietzche tak lebih dari seorang peramal, yang menggunakan lensa filsafat untuk memulai langkah membaca psikologi kehidupan dengan menerawang akal dan batin, lalu menyapu bersih segala kekerasan yang tak mampu terlepas---yang membelenggu jiwa-jiwa tanpa dosa. pun jua, itu tak cukup untuk seorang filsuf sekelas Socrates yang selalu menonjol dengan berbagai pertanyaan sampai pada puncak yang paling radikal untuk menemukan dirinya sebagai seorang bijaksana (irfan).

Akal dan batin merupakan dua dikotomi dalam diri setiap manusia yang berperan aktif dalam menjalankan segala spirit ketuhanan (menempuh jalan-jalan spiritual atauh bahkan ritual keagamaan dan kehidupan) dengan mengabdikan diri untuk segala kuasa atas alam semesta; dengan segala dialektika keimanan yang  dipunyai. Nietzche juga berharap tidaklah selalu semua orang mengimani dialektika, menurutnya dialektika hanya jalan akhir bila tak ada lagi cara untuk menunjukan kecakapan diri."orang memilih dialektika hanya kalau orang tidak memiliki cara lain. Orang tahu bahwa dialektika menimbulkan kecurigaan. ..."(Nietzche).

Semisal seorang Dialektisi, Socrates yang hanya menaruh hidup untuk terus memunculkan berbagai pertanyaan dengan hukum-hukum skeptic yang dimiliki. Dan bagi Nietzche semua jelas dengan segala yang telah ia tunjukan mengenai kejijikan Socrates. Itu sebuah persoalan yang juga ada dalam diri kita sebagai manusia!

Maka, pecahkanlah iya!

Penulis: Adam Makatita

Ambon, 16 Oktober 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun