Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

(Fiksi) Karim, Suci, dan Haji Thaharah

11 Mei 2021   00:09 Diperbarui: 11 Mei 2021   03:44 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku Karim. Pandemi merubah hampir semua sendi kehidupan. Termasuk hidupku, hidup kami. Aku yang semula bekerja di warung kopi di sebuah ruko terpaksa menganggur. Tempat usaha itu gulung tikar.

Pemberlakukan PSBB awal merebaknya pandemi membuat warung kopi yang biasa dikunjungi anak-anak muda untuk berkumpul dan bercengkrama dibatasi jam operasionalnya. Lambat laun tempat tongkrongan anak-anak muda itu sepi. Hingga pemilik usaha memutuskan untuk menutup usahanya. Semua pekerja dirumahkan dengan pesangon ala kadarnya.

Satu bulan bertahan hidup dengan tabungan yang kami miliki. Suci, perempuan mungil yang menjadi ibu dari Fitri anak semata wayang kami terus memberi semangat. Mencari  pekerjaan baru  di masa pandemi bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Berulang kali aku mencoba, berulang kali pula aku harus harus menerima keadaan.

Ingin pulang ke kampung halaman pun kami tak bisa. Sebenarnya bisa saja kami nekad, tapi hati kecil ini tak tega membiarkan virus tak kasat mata bernama Korona itu semakin meluas persebarannya. Biarlah kami pertahan di Ibukota, meski harus bertahan hidup dengan apa yang kami bisa.

Hingga suatu pagi di penghujung Ramadan, suci membereskan beberapa barang yang sudah lama teronggok di sudut kontrakan. 

"Yah, sebagian barang-barang ini bagaimana jika kita jual saja. Tabungan menipis, sementara kita tetap harus memenuhi kebutuhan Fitri anak kita. Apalagi sebentar lagi lebaran tiba.", Ujar Fitri sembari berbenah membersihkan beberapa sudut rumah kontrakan yang kami huni.

Aku menarik nafas dalam dalam. Membantu ya membuka kardus besar berisi beberapa benda yang sudah lama dibiarkan begitu. Aku meraih dan membuka tas hitam yang berisi gitar akustik. 

"Jual saja apa yang bisa dijual Bun, tapi yang ini jangan ya" tanganku memeriksa dawai gitar yang lama tak tersentuh.

Jari jemariku mulai memainkan beberapa kunci nada. Genjrengan demi genjrengan aku cipta. Entah dari mana datangnya, aku mendapat ide  untuk bisa survive bertahan hidup.

"Bund, kalau toh ayah harus mengamen di jalanan agar tetap bisa mendapat penghasilan apakah bunda malu?", Aku menatap Suci yang telah selesai memasukkan beberapa panci, tikar lipat,  dan perabot lain yang rencananya akan dijual.

"Kenapa harus malu Yah, biar sesekali  Bunda dan Fitri ikut menemani". Binar wajah suci menambah yakin bahwa kami bisa melalui semua ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun