Beberapa hari lalu saya terhenyak membaca tautan ulasan berita tentang sampah dari salah seorang rekan yang tinggal di Inggris melalui media sosialnya. Tumpukan sampah setinggi 18 kaki (kurang lebih 4 meter) yang seukuran mobil van itu dibuang begitu saja di jalanan sebuah perumahan.
Begitu kurang lebih judul dan isi ulasan. Tak ayal penghuni perumahan merasa terganggu bukan saja dari bau dan ancaman kesehatan melainkan pula tumpukan sampah tersebut menghalangi jalan.
Status media sosial rekan yang bermukim di Inggris tersebut mengingatkan saya akan sebuah diskusi ringan secara daring dengan kawan yang bermukim di Surabaya.Â
Diskusi tersebut menghubungkan saya dengan rekan pemerhati lingkungan di Yogyakarta. Hingga selanjutnya kami pun sedikit "rasa-rasan" tentang sisi lain Yogyakarta yang tampaknya harus bersiap menghadapi bom waktu.Â
Bukan ledakan penduduk, bukan pula degradasi nilai budaya yang kiranya dapat mengancam nama Yogyakarta sebagai the soul of Java. Melainkan kabar tak sedap yang muncul dari Piyungan.
Piyungan, satu kawasan di Selatan Yogyakarta, masuk dalam wilayah Kabupaten Bantul. Bagi pengguna media sosial, nama Piyungan sempat tenar sebab pernah menjadi nama portal online PKS Piyungan yang gencar melakukan penyebaran informasi era pemerintahan SBY.Â
Kini, masa keemasan nama portal online tersebut tampaknya telah meredup. Justru berganti dengan sebuah kabar tak sedap dari Piyungan lainnya yang sarat akan muatan sampah dan masa depan lingkungan hidup bagi Bantul pada khususnya dan Yogyakarta pada umumnya.
"Rame warga pada protes, menutup akses masuk jalan TPA Piyungan lho," suara Mas Agus Kristiono membuat saya semakin penasaran melihat langsung lokasi TPA tersebut. Â
Apa daya hampir 1 tahun saya tidak mengunjungi Yogya akibat Korona, bukan kabar bahagia yang saya dapat justru kabar prihatin tentang pengelolaan sampah yang berdampak kurang sedap bagi lingkungan sekitar ini yang saya dengar.
Sejatinya saya bukanlah pemerhati sampah dan lingkungan layaknya mas Agus Kristiono. Pun saya bukan warga Yogya yang sedikit banyak terkena imbas secara langsung dari ramenya TPA Piyungan.Â
Namun secuil pengalaman saya bergabung menjadi anggota Bank Sampah di Jakarta Selatan menjadikan saya tertarik dan memiliki kepedulian. Terlebih ini Yogya, satu dari sekian wajah peradaban negeri baik dari sisi budaya, wisata terlebih tatatan masyarakatnya yang terkenal memiliki keramahtamahan yang luar biasa.
Sungguh tidak lucu, disebuah wilayah yang dikenal ramah masyarakatnya, justru terdapat ketidakramahan terdapat lingkungan alam sekitar. Lantas, apakah Yogyakarta tidak punya gerakan bank sampah layaknya Jakarta?
Demikian pertanyaan yang saya lontarkan kepada mas Agus, masih secara daring. Jawabnya sungguh membuat saya tercengang. "Ra iso menyelesaikan" alias tidak bisa menyelesaikan. Luasan TPA sudah overload alias tidak mampu menampung tumpukan sampah yang berasal dari wilayah Yogya. Begitu Mas Agus memberi penjelasan.
Puncaknya Desember 2020 lalu, banyak sampah yang berasal dari Sleman dan Kota Yogyakarta hanya dibuang di pinggir jalan saja, tidak di areal pembuangan yang memang sudah penuh dan kian menjulang tinggi.Â
Antrean kendaraan pembuang sampah dari beberapa kota/kabupaten (Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta) di wilayah DIY pun mengular. Per hari kurang lebih ada 600 ton sampah yang masuk ke TPA Piyungan.
Tidak hanya itu, ancaman merebaknya nyamuk, lalat yang menjadi perantara ancaman pelbagai penyakit bagi masayarakat yang bermukim di sekitaran TPA Piyungan ini juga membutuhkan perhatian ekstra dari pemangku kebijakan setempat.Â
Fogging, penyemprotan yang diharapkan warga dapat mengantisipasi merebaknya demam berdarah dan penyakit lainnya tentu  sangat diharapkan oleh warga.Â
Terlebih di musim pendemi begini, terbengkalainya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dikhawatirkan menjadi salah satu akses masuk bagi virus akibat minimnya higienitas kebersihan lingkungan itu sendiri.
Akankah TPA Piyungan menjadi alternatif wisata lingkungan "gaya baru" yang akan menyedot perhatian dari luar Yogyakarta. Jujur saya penasaran melihat langsung "gunungan sampah" di  Piyungan. Semoga lekas ada solusi bersama, tidak semata menjadi issu dan rasan-rasan di antara kita saja.
Salam.