Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wasini dan Geliat Angkringan Yogya yang Menghidupi

21 November 2020   23:44 Diperbarui: 22 November 2020   00:26 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok pri Mbak Wasini tengah menunggu Angkringannya

Namanya Wasini. Orang memanggilnya mbak Was. Secara fisik, mbak Was tergolong gemuk, namun hal itu tidak mengurangi kepiawaiannya mengerjakan tugas domestik dari mulai belanja, memasak, membereskan rumah hingga melayani kebutuhan lain di rumah majikannya.

Saya mengenalnya 10 tahun lalu saat saya di Yogyakarta. Mungkin bagi banyak orang, mbak Was bukanlah siapa-siapa. Bukan seorang tokoh ternama yang didengungkan mampu membawa insirasi bagi orang lain. Namun bagi saya, mbak Was adalah sosok yang mampu memberi terang dengan semangat berdikarinya.

Perempuan berusia 48 tahun ini sejatinya sudah cukup lama bekerja sebagai asisten rumah tangga. Berangkat jam 6 pagi, pulang jam 6 sore atau kadang lebih jika memang kondisi menuntutnya untuk bekerja lembur.

Kala itu mbak Was menjadikan sepeda kayuh berwarna biru sebagai kendaraan dinasnya menempuh jarak dari Janti menuju kawasan selokan Mataram. Mbak Was bekerja keras agar anak bungsunya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik darinya.

Perempuan kelahiran Wonosari - Gunung Kidul itu tak sungkan bercerita kepada saya. Tentang harapan akan masa depan anak perempuannya. Dia tentu tidak berharap, sang anak akan bernasib sama dengannya, yang sekedar menjadi asisten rumah tangga.

Itulah kenapa saya tidak sekedar ingin mengeja namanya. Melainkan pula bercerita tentang geliat angkringan yang menghidupi. 

Setahun sejak perkenalan itu, mbak Was mengabarkan bahwa dia sudah tidak lagi bekerja. Dia mengundurkan diri sebab ingin berdikari. Melalui pesan singkat lewat SMS, mbak Was menyampaikan keinginan untuk bisa memiliki usaha angkringan. Mendengar kata angkringan, entah kenapa saya langsung antusias. 

Hanya saja mbak Was mengatakan saat itu tidak memiliki modal yang cukup. Masih melalui SMS pula saya menanyakan kira-kira berapa modal yang dibutuhkan. "Rengrengan" alias corat-coret kebutuhan usaha angkringan pun dibuat oleh mbak Was. Biaya terbesar ada pada gerobak. Sebelebihnya masih bisa diupayakan secara bertahap. 

Alhasil,modal total senilai 2,7 juta menjadi bilangan keramat yang harus dicarikan dari beberapa sumber. Tak lain agar cita-cita mbak Was memiliki usaha sendiri tercapai.

Saya kembali bertemu mbak Was di Jogja untuk memastikan sejauh mana keinginannya untuk memiliki usaha Angkringan. Dalam pertemuan yang kondisinya berbeda dengan sebelumnya itu saya mengetahui mbak Was memiliki suami bernama pak Jentu. Lelaki yang mengakrabi kebudayaan kethoprak Mataraman.

Mbak Was sosok perempuan mandiri. Istri yang memahami segala kondisi. Tekad untuk membuka usaha angkringan pun seolah menjadi solusi agar periuk tetap ngebul, dan anak perempuannya tetap bisa melanjutkan sekolah lanjutan pertama. Hingga meneruskan ke jenjang berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun