Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prabowo dalam Falsafah Jawa: Ketika "Dipangku" Jokowi, Dia pun "Mati"

3 April 2019   15:09 Diperbarui: 9 Juli 2022   11:19 2073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber Deskgram @filosofijawa/instagram

Bahwa menurut Prabowo Banyumas adalah Bataknya orang Jawa, tidak sepenuhnya benar. Dalam hal intonasi bicara, dialek Banyumas yang masuk kelompok Jawa Ngapak memang terkesan keras. Nada orang Banyumas ketika berbicara kadang-kadang terdengar "ngorong-ngorong" alias ngotot dan bernada tinggi. Namun bukan berarti warga Banyumas itu semuanya keras, kasar dan tidak bisa lembut dalam sikap dan perbuatan. Bukan sebuah kebetulan, saya pernah berprosesdi beberap titik wilayah eks. karasidenan Banyumas yang sempat di kenal dengan istilah Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen). Di daerah itulah warga berkebudayaan Banyumas, khususnya logat ngapak selama ini mewarisi tradisi Banyumasan.

Warga Banyumas jauh dari kesan keras dan kasar dalam bersikap. Ketika marah, pada umumnya memilih diam. Hal itu saya amati sepanjang saya berinteraksi dengan beberapa tokoh Banyumas selama saya berproses disana. Sikap diam tersebut bukan tanpa makna. Agar lawan yang didiamkan melakukan instrospeksi diri. Namun diamnya warga Banyumas tidaklah mengandung unsur dendam. " Cablaka alias Blakasuta", terang-terangan namun setelah itu kembali seperti semula. Warga Banyumas mampu tampil lembut, santun dan tidak arogan.

Terlepas dari asal darah manakah yang mengalir dalam diri Prabowo bukabkah hal yang bisa menjadikan semua orang bersikap permisif? Atau jangan-jangan Prabowo sedang menebar jaring ikatan emosional dengan warga Banyumas agar menaruh simpati terhadapnya. Tidak semudah itu. Banyumas selama ini dikenal juga sebagai kandang Banteng. Nasionalisme Patriotik cukup mendominasi Banyumas. 

Hal ini terlihat dari rekam jejak sejarah yang memunculkan tokoh-tokoh nasional dari kalangan militer sebut saja Panglima Besar Jenderal Soedirman, Jenderal Gatot Soebroto dan R. Soeprapto. Jenderal Soedirman misalnya, adakah dalam sosok pak Dirman terlihat kasar, grasa grusu dan banyak sesumbar hal-hal yang kurang mengenakkan warga kebanyakan?. Ada baiknya, jika Prabowo mengaku dirinya bagian dari pewaris darah Banyumas, maka suri Tauladan dari Jenderal Besar Soedirman tidak dilupakan begitu saja.

Lain darah Banyumas, lain pula darah Solo yang disebut Prabowo mengalir dalam diri Jokowi. Ketenangan dan sikap Jokowi sejatinya bukan saja merepresentasikan dirinya orang solo. Sejatinya begitulah universalitas nilai orang Indonesia kebanyakan. Sebatak-bataknya orang batak, mereka masih memiliki sisi lembut dan sentuhan kasih kepada lawan bicara. Begitupun orang Papua, Minahasa, Madura, Kalimantan, Bugis, Minang. Semua pada prinsipnya mampu bersikap lembut , dan baik kepada siapapun. 

Malam itu pun, untuk yang kesekian kalinya Jokowi memangku "lawan". Tak segan-segan, dalam perebutan tampuk kepemimpinan nasionalpun, Jokowi memegang teguh prinsip itu. Dengan ketenangan sikap dan ketenangan bicara, Jokowi diam-diam tengah memangku Prabowo di akhir debat. Hilang konsentrasi Prabowo terkait apa yang harus disampaikan dalam sesi pernyataan penutup. Wajah Prabowo terlihat manis meski masih sempat sedikit "meracau" tentang banyaknya orang di lingkar Jokowi yang katanya ABS (asal Bapak Senang).

Senyum tulus Jokowi malam itu menjadi pengantar caranya memangku Prabowo. Uluran tangan persahabatan dengan Prabowo sedemikian membuyat semua yakin dan sadar, sosok pemimpin sejati. Bukan yang merasa lebih diantara yang lebih. Bukan yang melarang tertawa saat apa yang disampaikan dianggapnya penting bahkan darurat. Bukan yang kerap memunculkan bahasa tubuh dan mimik muka yang tidak bersahabat.

Pemimpin sejati itu Jokowi, yang mampu membuat lawanya "mati" dalam "pangkuan". Begitu kira-kira tafsir pangkon sebagai khasanah filosofi Jawa. Bukan yang sekedar menunjukkan kekuatan dan penguasaan strategi pertempuran semata. Melainkan dia yang sudah mampu mengendalikan kontrol emosi diri sendiri dihadapan orang kebanyakan.

Pesan khusus saya kepada Pak Prabowo sebagai orang yang pernah berproses di Banyumas, Jangan terlalu sering merasa diatas angin Pak. Sebab sejatinya semua makhluk di bumi itu memiliki harkat dan martabat yang sama. Terkecuali dilihat dari iman dan takwa. Selain dari cara dia bersikap welas asih kepada sesama. Itu saja.

salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun