Mohon tunggu...
Bawah Paras Laut ۞
Bawah Paras Laut ۞ Mohon Tunggu... lainnya -

~Diaspora Tanah Kumpeni, 40+, domisili di suburb Amsterdam. Paspor merah, hati tetap ijo. Mencoba menulis isu sehari-hari untuk dokumentasi pribadi. Sukur-sukur berguna bagi sesama.~\r\n\r\n“If you don’t like something, change it, if you can’t change it, change your attitude” -Maya Angelou-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Janda Ketengan

14 November 2013   01:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:12 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13843659551729755558

Aku Riska, janda dua ronde. Dua babak dating maksudku. Pertama kali kencan, lima tahun selepas kepergian mendiang suamiku, Irwan. Aku terdaftar di situs pertemanan bagi akademisi. Anggotanya berpendidikan tinggi. Katanya… Lima tahun ternyata terlalu dini untuk melupakan almarhum belahan jiwaku. Aku mencari fotokopi Irwan. Lelaki tempat aku berbagi kasih, jasmani, sedu, dan canda. Ini kesalahanku. Sedih masih menghantui setelah kematiannya.

Lama aku melepaskan diri dari belenggu itu. Ditempa muram berkepanjangan membuatku berani mengambil keputusan. Aku ingin mengisi hidupku di ambang usia senja dengan secercah kegembiraan. Kuberanikan mencari pendamping baru. Gamang, aku rindu tertawa lagi. Aku ingin hidupku imbang. Tanpa beban! Suatu hari, aku terbujur di ranjang bersama pria tak kukenal. Seusai bersebadan, aku beranjak menuju pintu kamar mandi.

“Bekas jahitan di punggungmu menyeramkan, Ris!” seloroh pria itu memecah sepi. Aku tersedak. “Siapa kamu berani menilai tubuhku!” cecarku berontak. Ucapannya menyulut emosiku. Aku batalkan keanggotaanku di biro jodoh keparat itu. Meredam kesal, aku keliling Gili Trawangan sendirian. Masa berkabungku urung sirna, kendati aku relakan Irwan. Namun, jauh di lubuk hati aku berharap kejutan lainnya. Setahun kemudian, aku aktifkan lagi profilku di laman itu.

[caption id="attachment_301558" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: istockphoto.com"][/caption]

Kali kedua, kencanku lagi-lagi berujung kecewa. Pria-pria yang kutemui kebanyakan memasang foto bidikan sepuluh tahun lampau, acak-acakan, dan tak peduli kebersihan badan. Beginikah laki-laki lulusan perguruan tinggi elit dan intelektual? Buatku, mereka tak lebih pendusta handal. “Kamu kurang ketat menyeleksi, Ris!” tuding teman karibku. “Apa yang harus kupilah?” hati kecilku berkilah. Bukankah cinta itu kadang tak terdeteksi? Adakah indikatornya?

Mungkin, aku terlalu polos. Usia, hobi, dan profesi yang tercantum di profil aku telan begitu saja. Aku percaya, aroma tubuh seseorang hanya tercium di dunia nyata. Bagaimana seorang laki-laki bersikap di alam riil, bagiku jauh lebih penting ketimbang mulut manis di akun digitalnya. Apalah artinya pecinta anggur Prancis, romantis di perapian, dan pengagum opera Verdi? Suara renyah di telepon sanggup membuatku terbang di awang-awang dibanding kata-kata melompong itu.

Ajaib, situs perkawanan itu menjodohkanku dengan sejumlah lelaki. 115% cocok! Aku tersenyum hambar. Kutahu, calon-calon itu sama sekali bukan seleraku. Toh, sesekali kutepis pikiran burukku. Kusambangi mereka, walaupun selalu berakhir kandas di awal pertemuan. Aku laksana ibu guru bengis menghukum murid-muridnya. Tak ada lagi yang tersisa. Aku yakin, cinta itu misteri, mimpi, dan sekaligus kenyataan. “Pakai statistik mana situs itu cari kandidat buatku!” batinku geram.

Sungguh, seandainya kencan-kencanku berkesan dan menyenangkan mustahil aku berkeluh-kesah begini. Situs pertemanan itu seperti mengais remah-remah di kardus barang bekas. Tak ada lagi yang pas! Sahabatku pernah berujar, “Ris, lelaki seumuranmu yang pasang profil begitu cuma ingin celup-celup. Pasti ada yang tak beres!” Aku merenung. Masih adakah afeksi spontan bak sihir menukik sukma? Sekarang, semua itu hanyalah urusan saklek semata.

Aku belum lupa janjiku di Pasir Putih. Pukul empat sore, lelaki itu belum juga muncul. Kuhubungi ponselnya. “Ya, aku berdiri di parkiran,” sergahnya. Mataku terbelalak. Sosok ringkih itu luput dari perhatianku. Wajahnya tirus dan kemejanya lecek bersimbah peluh. “Ah, secangkir kopi tak ada salahnya!” gurauku berusaha tenang. Pria paruh baya itu seumur hidup tinggal bersama ibunya. Setelah ibunya wafat, ia mencari istri yang mau mengurusnya.

Kuamati deretan profil di situsku. Mataku tertuju ke seorang dosen di sekolah tinggi filsafat. Kembali kubuat janji. “Riska?” suara itu bergema di belakangku. Pria itu tersenyum. Barisan gigi kusam menyembul di balik seringainya. Tak dapat lagi aku sembunyi. Ia ulurkan tangannya. Aku jabat pendidik itu. Lengket keringatnya membasahi jariku. Pengajar etika? Ia sudah pensiun beberapa tahun lalu dan sempat terkejut profesi itu masih tampil di akunnya.

Ia memesan anggur putih. Aku memilih teh hijau. Aku tak mau mabuk di hadapan pria asing. Ia membandingkan laman perkawanan kami layaknya toples gula-gula. “Tinggal pilih yang kamu suka. Jika kurang legit, cari yang lain!” tegasnya. Senyum menjurus tersungging di sudut bibirnya. Aku teguk tehku. “Maaf, sepertinya prinsip kita beda!” celetukku ringan. Aku panggil pelayan dan aku bayar tehku. Dosenku? Mendadak ia lupa dompetnya. Entah di mana adabnya.

Aku lebih senang berbagi dengan kumpulanku. Mereka itu janda-janda sahabatku dan memiliki pengalaman buruk mirip denganku. Semuanya masih menarik, peduli penampilan, dan aktif di kehidupan sosial. Hanya satu perekat kami: mencari pasangan. Kami tak butuh kepala rumah tangga, melainkan teman hidup sepadan. Kami bukan janda eceran. Aku tutup lembaran situs dating itu. Bam! Aku percaya, masih ada cinta yang tulus. Ia datang dan pergi. Merasuk selasar hati…

Raja Ampat, Prapaskah 2010

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun