Sementara mimbar aslinya merupakan pemberian dari wakil Presiden Muhammad Hatta saat melakukan kunjungan pertama ke Ambon, tahun 1953. Namun setelah itu, mimbar tersebut diberikan ke masjid Tulehu. “Jadi kalau mau cari mimbar aslinya itu ke masjid Jami Tulehu,”katanya.
Dalam proses berdirinya, Umat Muslim dan Kristen secara bergotong royong menyelesaikanya. Tahun 1933 masyarakat Muslim dan Kristen tinggal dan berbaur, terutama disekitaran Silale. Masyarakat Kristen yang lebih banyak membantu pada saat itu berasal Negri Latuhalat dan Amahusu. Selain yang sudah menetap di Silale. Masyarakat Kristen membantu, baik dengan tenaga maupun bantuan makan dan minuman.
“Dulu di daerah Silale itu dihuni oleh orang Kristen seluruhnya. Jadi orang angkat pasir dari pantai ke lokasi pembangunan masjid, itu orang Kristen memberikan minuman-minuman (air) dan sebagainya. Ada yang datang dari Latuhalat, terutama Amahusu dan Benteng. Dong dari Amahusu dan Latuhalat ini yang sering membantu pembangunan masjid Jami,”lanjut Laitupa. Tangan kananya menunjukan kearah Silale sambil mengingat peristiwa-peristiwa pembangunan Masjid hijau ini.
Sempat terjadi gejolak soal perbaikan lantai Masjid Jami yang dinilai sudah tidak layak lagi digunakan sebagai tempat sujud, belum lama ini. Banyak batangan tehel berukuran 20 x 40 cm yang telah rusak. Olehnya itu perlu diganti dengan tehel yang baru. Namun sebagian pengurus Masjid Jami menolak untuk dilakukan perbaikan. Mereka kuathir keaslian lantai akan pudar, jika tehel yang berasal dari Italia tahun 1933 itu diganti.
Tehel dari Italia itu merupakan usaha sendiri dari sang Tukang Zainudin. Namun atas berbagai pertimbangan, akhirnya tehel yang berwarna kuning kecoklatan ini dibongkar dan digantikan dengan tehel berukuran sedikit besar yang merupakan sumbangan dari seorang dermawan. Beruntung tehel yang terpasang di 4 Tiang utama yang juga berasal dati negri Pizza ini masih tetap dipertahankan. Tehel untuk tiang ini, bercorak putih kebiruan.
Tehel Italia yang dulunya menutupi seluruh lantai masjid Jami itu, kini masih tersisa sekitar 5 meter, yang berada ditengah-tengah luas areal dalam lantai Masjid. Sebagian bahan luar negri yang masih ada, itu tetap akan dijaga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya Masjid Jami.
“Tehel dari Italia diusahakan sendiri oleh tukang. Sebenarnya ada pendapat yang ingin menggantikan, karena bentuknya terkesan tidak bisa dipakai lagi untuk tempat sujud yang layak. Sehingga sampai saat ini masih tersisa beberapa meter saja . Padahal awalnya, tehel dilantai Masjid Jami ini berasal dari Italia,” kata Laitupa sambil berjalan mengelilingi bagian lantai yang masih ditutupi tehel Italia. Menunjukan satu demi satu tehel tersebut yang telah diapit tehel baru.

Tempat Buya Hamkah Berdakwah
Masjid Jami memiliki banyak sejarah. Selain arsitektur bangunan yang masih tetap dipertahankan, Masjid ini juga pernah menjadi tempat persinggahan Ulama terkemuka, Buya Hamkah dalam perjalanan Dakwahnya. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini datang ke Kota Ambon sebelum didirikanya masjid raya Alfatah.
“Oh, kalau yang datang disini, Ulama terkemuka Buya Hamka juga datang kesini tahun 1933. Kunjungan ke Ambon, beliau mampir ke Masjid Jami. Beliau kan seorang Da’i (penceramah) jadi memberikan ceramah. Beliau melaksanakan sholat berjamah di majid ini,”tutur pria yang mengaku belum lama masuk kepengurusan Masjid Jami ini.